Tujuh Gadis yang Cemburu (Afrika)
Alkisah ada seorang gadis yang sangat cantik di desa Ibibio, Afrika, bernama Akim yang artinya musim semi yang cantik. Kecantikannya membuat iri gadis-gadis lain yang mengenalnya. Terlebih lagi Akim juga memiliki bentuk tubuh yang semampai, dan juga memiliki pembawaan diri yang sangat luwes, yang membuat setiap pria yang melihatnya akan lupa diri. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya, bahkan terlalu melindunginya. Mereka bahkan melarang anak satu-satunya ini bergaul dengan gadis-gadis lainnya. Untunglah Akim gadis yang penurut. Meskipun ia sangat ingin pergi bermain bersama gadis-gadis lain sebayanya, namun ia tetap dengan rajin dan senang hati membantu pekerjaan orang tuanya.
Suatu hari saat ia sedang mengambil air di mata air, ia berjumpa dengan 7 orang gadis sebayanya yang hendak pergi menonton pertunjukan di desa sebelah.
“Hai Akim, ikutlah bersama kami. Kita akan bersenang-senang dan berkumpul dengan anak muda lainnya di desa sebelah,” kata salah seorang dari mereka.
“Oh, aku ingin sekali ikut bersama kalian. Tapi maafkan aku! Aku tidak bisa karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” kata Akim sambil memperlihatkan tempayan-tempayan kosong yang harus diisinya.
Ketujuh gadis itu sebenarnya merasa iri dengan kecantikan Akim. Mereka sering berkumpul hanya untuk menceritakan kebencian mereka kepada Akim. Peristiwa kemarin semakin menambah ketidaksukaan mereka. Mereka mencari ide untuk memberi pelajaran kepada Akim. Akhirnya mereka sepakat untuk datang ke rumah Akim setiap hari dan membantunya bekerja, dengan demikian Akim akan menganggap mereka sahabatnya.
Esoknya mereka memulai rencana mereka. Akim tentu terkejut tapi juga senang dengan kedatangan mereka. Pekerjaannya menjadi cepat selesai dan ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya. Tapi orang tua Akim yang tidak percaya dengan ketulusan mereka, tetap melarang Akim bergaul dengan mereka.
Akhir tahun pun tiba. Seperti biasa di akhir tahun, selalu diadakan pesta besar untuk menyambut tahun baru. Kedua orang tua Akim pun turut diundang untuk datang ke pesta yang diadakan di desa yang jauhnya dua hari berjalan kaki. Akim ingin sekali ikut, tapi orang tuanya memberinya banyak sekali pekerjaan supaya ia tidak bisa datang.
Pada hari perayaan, ketujuh gadis itu datang ke rumah Akim untuk mengajaknya pergi ke pesta.
“Sayang sekali aku tidak bisa ikut,” kata Akim sedih. “Lihatlah! Aku harus mengisi semua tempayan ini, membersihkan dinding dan mengepel lantai. Setelah itu aku harus membersihkan semua ranting di halaman dan membereskan rumah. Jadi aku tidak akan sempat pergi ke pesta.”
Ketujuh gadis itu segera mengambil alih pekerjaan Akim dan dalam beberapa saat saja semuanya beres.
“Nah sekarang kau bisa ikut dengan kami,” kata mereka.
Maka Akim pun dengan senang hati pergi dengan mereka.
Sekitar setengah perjalanan menuju desa tempat diselenggarakannya pesta, ada sebuah sungai kecil yang harus disebrangi dengan menggunakan rakit. Dan di sungai itu tinggallah dewa sungai yang sangat berkuasa dan kejam. Siapapun yang menyebrangi sungai itu dua kali atau bolak-balik, maka saat penyebrangan keduanya ia harus melemparkan sesajen berupa makanan untuk sang dewa sungai. Jika tidak, maka dewa Sungai akan menariknya ke dalam air dan menawannya di dalam istananya di dasar sungai. Ketujuh gadis itu tentu saja tahu betul karena mereka sering bepergian ke banyak tempat. Tetapi Akim yang selalu tinggal di rumah, tidak tahu menahu mengenai hal itu.
Mereka menyebrangi sungai tanpa kesulitan. Seekor burung kecil yang terpesona dengan kecantikan Akim, berkicau riang di atas sebuah ranting, membuat ketujuh gadis itu bertambah berang. Mereka meneruskan perjalanan, dan setelah perjalanan yang melelahkan, tibalah mereka di tempat pesta berlangsung.
Meskipun ketujuh gadis itu memakai baju dan perhiasan terbaiknya, namun Akimlah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu. Semua pemuda berebut untuk mengajaknya berdansa. Dan tentu saja hal ini membuat ketujuh gadis ini semakin murka.
Akhirnya orang tua Akim mengetahui kehadiran Akim di pesta itu. Mereka marah dan menyuruh Akim untuk segera pulang. Ketika Akim menceritakan hal itu kepada ketujuh gadis itu, mereka berkata “Baiklah, kami akan mengantarmu pulang. Tapi sebelumnya kami harus makan dulu. Jadi, tunggulah sebentar lagi.”
Tanpa sepengetahuan Akim, ketujuh gadis itu masing-masing menyembunyikan sedikit makanan di kantung mereka. Sementara Akim yang tidak tahu menahu, meninggalkan pesta itu tanpa membawa sepotong makanan pun.
Ketika tiba di tepi sungai, ketujuh gadis itu berjongkok, meminta ijin kepada dewa Sungai lau melemparkan makanan yang dibawanya. Akim terkejut, ia memohon kepada mereka untuk membagi sedikit makanannya, namun mereka menolak.
Benar saja, ketika rakit yang mereka tumpangi tiba di tengah sungai, dewa sungai menarik Akim ke dasar sungai. Ketujuh gadis itu pulang dengan hati puas, karena telah berhasil menjalankan rencananya.
Orang tua Akim yang tiba esok harinya, terkejut mendapati rumah mereka masih terkunci dan anak mereka hilang entah kemana. Ketujuh gadis yang mereka tanyai mengaku Akim telah pulang dengan selamat dan setelah itu mereka belum bertemu lagi dengannya.
Dengan putus asa, orang tua Akim bertanya pada tukang rakit yang menyebrangkan mereka. Darinya ia tahu bahwa Akim telah ditawan oleh dewa Sungai. Burung di pinggir sungai itu juga ikut memberi kesaksian mengenai kekejaman ketujuh gadis yang tidak mau memberi sedikit makanan mereka kepada Akim.
“Oh, celakalah anakku,” kata ayah Akim dengan sedih.
“Jangan khawatir! Aku tahu caranya membujuk dewa Sungai,” kata tukang rakit.
“Bagaimana caranya?” tanya ayah Akim.
“Besok, bawalah seekor sapi, sekeranjang telur dan segulung kain putih untuk ditukar dengan anakmu. Dewa sungai akan melemparkan anakmu sebanyak 7 kali. Tapi jika kau gagal menangkapnya pada lemparan yang ke tujuh, maka gadis itu akan hilang selamanya,” jelasnya.
Esoknya orang tua Akim membawa persyaratan yang diminta dan melemparkannya ke tengah sungai dan memohon agar anak mereka dikembalikan. Tiba-tiba dari dalam sungai, terlontarlah tubuh Akim yang langsung ditangkap oleh ayahnya. Maka mereka pun pulang dengan bahagia.
Ayah Akim yang masih mendendam kepada ketujuh gadis itu, merencanakan untuk membalas dendam. Dia menggali sebuah lubang yang dalam di salah satu sudut rumahnya. Lubang itu kemudian diisinya dengan daun-daun kering. Di atasnya ia gelar sebuah kasur tipis. Kemudian ia mengundang warga desa untuk berpesta merayakan kembalinya Akim.
Ketujuh gadis itu awalnya tidak mau datang karena takut, namun ayah Akim sengaja datang ke rumah mereka masing-masing dan memohon mereka untuk datang.
Ayah Akim pura-pura menyambut mereka dengan ramah dan mepersilahkan mereka untuk duduk di kasur yang telah disediakan. Begitu mereka duduk di atasnya, mereka pun jatuh ke dalam lubang.
“Inilah balasan bagi kalian,” kata ayah Akim sambil melemparkan sebatang obor ke dalam lubang yang langsung membakar daun-daun kering di dalamnya.
Ketujuh gadis itu berteriak minta ampun, namun api dengan cepat melahap tubuh mereka sehingga tewas.
Suatu hari saat ia sedang mengambil air di mata air, ia berjumpa dengan 7 orang gadis sebayanya yang hendak pergi menonton pertunjukan di desa sebelah.
“Hai Akim, ikutlah bersama kami. Kita akan bersenang-senang dan berkumpul dengan anak muda lainnya di desa sebelah,” kata salah seorang dari mereka.
“Oh, aku ingin sekali ikut bersama kalian. Tapi maafkan aku! Aku tidak bisa karena masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” kata Akim sambil memperlihatkan tempayan-tempayan kosong yang harus diisinya.
Ketujuh gadis itu sebenarnya merasa iri dengan kecantikan Akim. Mereka sering berkumpul hanya untuk menceritakan kebencian mereka kepada Akim. Peristiwa kemarin semakin menambah ketidaksukaan mereka. Mereka mencari ide untuk memberi pelajaran kepada Akim. Akhirnya mereka sepakat untuk datang ke rumah Akim setiap hari dan membantunya bekerja, dengan demikian Akim akan menganggap mereka sahabatnya.
Esoknya mereka memulai rencana mereka. Akim tentu terkejut tapi juga senang dengan kedatangan mereka. Pekerjaannya menjadi cepat selesai dan ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya. Tapi orang tua Akim yang tidak percaya dengan ketulusan mereka, tetap melarang Akim bergaul dengan mereka.
Akhir tahun pun tiba. Seperti biasa di akhir tahun, selalu diadakan pesta besar untuk menyambut tahun baru. Kedua orang tua Akim pun turut diundang untuk datang ke pesta yang diadakan di desa yang jauhnya dua hari berjalan kaki. Akim ingin sekali ikut, tapi orang tuanya memberinya banyak sekali pekerjaan supaya ia tidak bisa datang.
Pada hari perayaan, ketujuh gadis itu datang ke rumah Akim untuk mengajaknya pergi ke pesta.
“Sayang sekali aku tidak bisa ikut,” kata Akim sedih. “Lihatlah! Aku harus mengisi semua tempayan ini, membersihkan dinding dan mengepel lantai. Setelah itu aku harus membersihkan semua ranting di halaman dan membereskan rumah. Jadi aku tidak akan sempat pergi ke pesta.”
Ketujuh gadis itu segera mengambil alih pekerjaan Akim dan dalam beberapa saat saja semuanya beres.
“Nah sekarang kau bisa ikut dengan kami,” kata mereka.
Maka Akim pun dengan senang hati pergi dengan mereka.
Sekitar setengah perjalanan menuju desa tempat diselenggarakannya pesta, ada sebuah sungai kecil yang harus disebrangi dengan menggunakan rakit. Dan di sungai itu tinggallah dewa sungai yang sangat berkuasa dan kejam. Siapapun yang menyebrangi sungai itu dua kali atau bolak-balik, maka saat penyebrangan keduanya ia harus melemparkan sesajen berupa makanan untuk sang dewa sungai. Jika tidak, maka dewa Sungai akan menariknya ke dalam air dan menawannya di dalam istananya di dasar sungai. Ketujuh gadis itu tentu saja tahu betul karena mereka sering bepergian ke banyak tempat. Tetapi Akim yang selalu tinggal di rumah, tidak tahu menahu mengenai hal itu.
Mereka menyebrangi sungai tanpa kesulitan. Seekor burung kecil yang terpesona dengan kecantikan Akim, berkicau riang di atas sebuah ranting, membuat ketujuh gadis itu bertambah berang. Mereka meneruskan perjalanan, dan setelah perjalanan yang melelahkan, tibalah mereka di tempat pesta berlangsung.
Meskipun ketujuh gadis itu memakai baju dan perhiasan terbaiknya, namun Akimlah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu. Semua pemuda berebut untuk mengajaknya berdansa. Dan tentu saja hal ini membuat ketujuh gadis ini semakin murka.
Akhirnya orang tua Akim mengetahui kehadiran Akim di pesta itu. Mereka marah dan menyuruh Akim untuk segera pulang. Ketika Akim menceritakan hal itu kepada ketujuh gadis itu, mereka berkata “Baiklah, kami akan mengantarmu pulang. Tapi sebelumnya kami harus makan dulu. Jadi, tunggulah sebentar lagi.”
Tanpa sepengetahuan Akim, ketujuh gadis itu masing-masing menyembunyikan sedikit makanan di kantung mereka. Sementara Akim yang tidak tahu menahu, meninggalkan pesta itu tanpa membawa sepotong makanan pun.
Ketika tiba di tepi sungai, ketujuh gadis itu berjongkok, meminta ijin kepada dewa Sungai lau melemparkan makanan yang dibawanya. Akim terkejut, ia memohon kepada mereka untuk membagi sedikit makanannya, namun mereka menolak.
Benar saja, ketika rakit yang mereka tumpangi tiba di tengah sungai, dewa sungai menarik Akim ke dasar sungai. Ketujuh gadis itu pulang dengan hati puas, karena telah berhasil menjalankan rencananya.
Orang tua Akim yang tiba esok harinya, terkejut mendapati rumah mereka masih terkunci dan anak mereka hilang entah kemana. Ketujuh gadis yang mereka tanyai mengaku Akim telah pulang dengan selamat dan setelah itu mereka belum bertemu lagi dengannya.
Dengan putus asa, orang tua Akim bertanya pada tukang rakit yang menyebrangkan mereka. Darinya ia tahu bahwa Akim telah ditawan oleh dewa Sungai. Burung di pinggir sungai itu juga ikut memberi kesaksian mengenai kekejaman ketujuh gadis yang tidak mau memberi sedikit makanan mereka kepada Akim.
“Oh, celakalah anakku,” kata ayah Akim dengan sedih.
“Jangan khawatir! Aku tahu caranya membujuk dewa Sungai,” kata tukang rakit.
“Bagaimana caranya?” tanya ayah Akim.
“Besok, bawalah seekor sapi, sekeranjang telur dan segulung kain putih untuk ditukar dengan anakmu. Dewa sungai akan melemparkan anakmu sebanyak 7 kali. Tapi jika kau gagal menangkapnya pada lemparan yang ke tujuh, maka gadis itu akan hilang selamanya,” jelasnya.
Esoknya orang tua Akim membawa persyaratan yang diminta dan melemparkannya ke tengah sungai dan memohon agar anak mereka dikembalikan. Tiba-tiba dari dalam sungai, terlontarlah tubuh Akim yang langsung ditangkap oleh ayahnya. Maka mereka pun pulang dengan bahagia.
Ayah Akim yang masih mendendam kepada ketujuh gadis itu, merencanakan untuk membalas dendam. Dia menggali sebuah lubang yang dalam di salah satu sudut rumahnya. Lubang itu kemudian diisinya dengan daun-daun kering. Di atasnya ia gelar sebuah kasur tipis. Kemudian ia mengundang warga desa untuk berpesta merayakan kembalinya Akim.
Ketujuh gadis itu awalnya tidak mau datang karena takut, namun ayah Akim sengaja datang ke rumah mereka masing-masing dan memohon mereka untuk datang.
Ayah Akim pura-pura menyambut mereka dengan ramah dan mepersilahkan mereka untuk duduk di kasur yang telah disediakan. Begitu mereka duduk di atasnya, mereka pun jatuh ke dalam lubang.
“Inilah balasan bagi kalian,” kata ayah Akim sambil melemparkan sebatang obor ke dalam lubang yang langsung membakar daun-daun kering di dalamnya.
Ketujuh gadis itu berteriak minta ampun, namun api dengan cepat melahap tubuh mereka sehingga tewas.
0 Response to "Tujuh Gadis yang Cemburu (Afrika)"
Post a Comment