Cerita Nogo Ema
Alkisah Rakyat ~ Siti Pol Mage Lio adalah nama sebuah desa di daerah Kabupaten Ende Lio. Di sana hiduplah seorang ibu dan seorang bapak. Si ibu bernama Ose Lango Ladju Burak, sedang si ayah bernama Pati Lae. Kedua suami-isteri mempunyai 8 (delapan) orang anak yang terdiri dari 7 (tujuh) orang putera dan seorang puteri. Nama ke tujuh putera tersebut masing-masing adalah Lalaku Lalo deng, Bala Karung, Kasarua Maring Badjo, Eko Kaen, Wewe Ame, Mabu Kaeng, dan Jawa Ama; Si wanita bernama Tonu Nogo Gunung Wudjo Ema. yang biasa disingkatkan menjadi Nogo Ema atau Nogo Gunug atau Tonu Wudjo.
Pada masa itu orang belum mengenal makanan pokok seperti padi dan jagung. Makanan pokok mereka pada waktu itu ialah batu dan buah-buah. Minuman mereka adalah air yang berlumpur. Ketika Nogo Ema atau Nogo Gunung telah dewasa maka oleh saudara-saudaranya ia hendak ditukarkan dengan gading dan kambing. Ini berarti ia harus dibawa dan dijual kepada penduduk di pedalaman Lio. Cara semacam ini menurut istilah Lamaholot disebut Benen. Tetapi Nogo Gunung tidak bersedia untuk diperlakukan demikian. Ia berkata di dalam hatinya; "Aku hanya seorang diri, dimana belis atau mas kawinku tidak akan mencukupi saudara-saudaraku yang begitu banyak. Dan hal ini akan menimbulkan pertengkaran antara sesama saudara-saudaraku nanti. Karena kebutuhan mereka itu, hanya akan dipenuhi untuk sementara waktu saja. Lagi pula bila pembagiannya tidak merata maka pertengkaran saja yang akan timbul.
Oleh karena itu adalah lebih baik saya berubah menjadi bentuk lain yang dapat memenuhi keinginan saudara-saudara sekalian." Keesokan harinya berkatalah ia kepada saudara-saudaranya; "Bawalah koting kedala kebia yaitu nama semacam buah-buahan di daerah tersebut, dan tukarkanlah dengan sepotong besi pada orang-oang Binongko di pantai. Anjuran ini ternyata dituruti oleh saudara-saudaranya. Ketika mereka tiba di pantai, otang-orang Binongko pun sudah datang dengan perahu dari tengah laut. Mereka kembali melaporkan hal tersebut kepada Nogo Ema. Mendengar laporan itu Nogo Emapun berangkat sendiri ke pantai membawa segala jenis buah-buahan untuk ditukarkan dengan sepotong besi. Setiba di pantai iapun memanggil orang-orang Binongko agar suka kembali ke pantai. Kemudian Nogo Emapun menukarkan segala buah-buahan yang dibawanya dengan sepotong besi. Besi itupun diserahkan kepada salah seorang saudaranya yang bernama Kasarua, dengan pesan hidupkanlah api dengan besi ini. Kasarua pun mengangguk tanda setuju. Apipun mulai dihidupkan. Berkatalah Nogo Ema; "Masukkanlah besi itu ke dalam api dan tempahlah ia menjadi parang dan kapak serta asahlah hingga menjadi tajam. Sesudah itu sepuhlah agar menjadi kuat dan tahan lama.
Besi yang sisanya hendaknya kau buat menjadi keluli yaitu alat membuat api. Semua sarannya ternyata diikuti dengan saksama. Setelah semuanya selesai dikerjakan oleh Kasarua, maka Nogo Emapun memerintahkan Kasarua untuk pergi Ke Hulu Hala Lolong.
"Tebanglah semua kayu di situ dn dijadikanlah tempat itu sebagai ladang. Apabila semua telah selesai maka tandailah bila mana pasang surut yang besar dan BUlan Sabit di sebelah barat. Apa bila bulan Sabit mulai muncul maka engkau pergi membakar semua kayu yang telah engkau tebang."
Pada saat ia sedang membakar kayu-kayu itu, maka bderdatanganlah seluruh isi kampung karena baru untuk pertama kali mereka melihat api. Mreka datang dengan membawa panah dan tombak untuk memusnahkan sesuatu yang belum dikenalnya itu. Disangkanya bahwa api itu nanti akan memusnahkan mereka. Setelah kebun itu selesai dibakar, maka Kasaruapun membersihkan sisa-sisa bakaran itu sehingga ladang betul-betul menjadi bersih. Kesemuanya dilaporkan kepada Nogo Ema. Nogo Emapun berkata lagi: "Perhatikanlah Wuno dan Pari, dilangit yang akan menentukan tibanya musim tanam. Apabila Wuno dan Pari sudah berada dalam posisi tegak lurus di atas Pari maka pergilah engkau ke tempat yang engkau kehendaki dan bilalah sarung dan pakaian serta seperangkat perhiasan untukku." Setelah Kasarua melihat bintang yang dijadikan pedoman untuk musim tanam sudah tegak lurus satu di atas lain lalu iapun pergi membeli semua yang dipesankan kepadanya. Kesemuanya diserahkan kepada Nogo Ema dan Nogo Emapun segera mengenakannya. Ke tujuh saudaranya diajak untuk pergi ke ladang. Setiba di ladang ia menyuruh mereka mendirikan Padung Era di tengah-tengah ladang, padung Era adalah nama tempat yang terletak ditengah-tengah ladang yang terdiri dari sebuah batu ceper tempat mletakkan bibit yang bakal ditanam. Dibelakang batu ceper tersebut dipancangkan orang sebatang kayu. Selesai mendirikan Patung Era lalu Nra lalu Nogo Rmapun duduk di atas batu ceper tersebut sambil bersandar pada kayu yang terpancang di belakang kayu tersebut. Kemudian saudara-saudaranya disuruhnya memenggal lehernya kemudian dipotong menjadi kecil-kecil atau dicincang. Sebelum dibunuh ia berpesan kepada saudara-saudaranya: "Sesudah aku dibunuh kedua paha dan lenganku harus dipotong dan diceraikan dari tubuhku. Paha kiri supaya diletakkan di sudut kiri bahagian bawah atau selatan dari kebun, paha kanan diletakkan diujung kanan kebun, sedangkan lenga harus diletakkan masing-masing pada sudut kiri dan kanan bahagian atas satu utara kebun. Kepala supaya digantungkan di ujung kayu tempat kau bersandar ini. Sesudah itu belahlah perutku dan ambillah isi perutku lalu letakkanlah di atas tempat dimana saya sedang duduk sekarang. Setelah itu cincanglah sisa tubuhku dan hancurlah potongan-potongan dagingku di seluruh kebun." Setelah ia menyampaikan pesan-pesanya lalu iapun menyuruh saudara-saudaranya untuk segera membunuhnya. Satu demi satu menghampirinya, namun tidak seorangpun berani melakukannya sesuai pesan Nogo Ema adiknya itu. Empat hari kemudian mereka beramai-ramai ke kebun hendak menyaksikan apa yang telah terjadi. Di kebun terlihat oleh mereka bagian-bagian tubuh Nogo Ema telah berubah menjadi ulat.Pada hari ketujuh ulat-ulat itu berubah menjadi padi. Bkan main senangnya saudara-saudara Nogo Ema. Mereka mulai menempa besi untuk membuat parang, alat-alat pemotong rumput besi gali dan sebagainya untuk nantinya dipakai sebagai alat untuk membersihkan kebun mereka. Ketika padi hendak berbunga, maka Kasaruapun bermimpi. Di dalam mimpi ia melihat Nogo Ema datang kepadanya dan berkata: "Kau harus mengorbankan kambing dan babi karena dengan demikian saya akan melahirkan dengan selamat tanpa halangan apa-apa."
Pada saat padi hendak mengeluarkan mayangnya Kasarua bermimpi lagi, bahwa Nogo Ema datang kepadanya dan berkata ia hendak melahirkan, oleh karena itu korbankan kambing dan babi lagi pada Padung Ema bsebagai tanda persembahan kepada roh musim timur dan musim barat. Dengan bderbuat demikian maka roh-roh musim tersebut akan menerima persembahan. Dengan demikian akan terjadi pergantian musim antara musim barat dan musim timur. Semua yang dipesan Nogo Ema kepada mereka dilakukan sebagaimana mestinya. Setelah padi mulai menguning ke tujuh bersudara Nogo Ema mulai mencari bahan untuk membuat pondok yang akan dimanfaatkan, sebagai gudang pengisi hasil panen itu.Pondok yang didirikan berjumlah tujuh buah. Dengan demikian mereka tidak akan bersusah payah jika musim panen tiba. Segala panenan tinggal ditampung di dalam ketujuh buah pondok yang telah didirikan. Tempat penyimpanan hasil panen demikian menurut bahasa daerah setempat disebut Kara. Sungguh sangat mengagumkan karena ternayata ketujuh kara tersebut hampir-hampir tidak menampung keseluruhan hasil panen yang ada. Mereka bertjuh diliputi rasa kegembiraan sementara ibu mereka Ose Langkobersedih hati karena anaknya Nogo Rma sudah lama tidak kembali kerumah. Ose Lango menyangka Nogo Ema sedang menjaga kara di ladang karena itu ia pergi ke ladang melihat Nogo Ema anaknya itu. Diladang Nogo Emas tidak dijumpai kecuali ia melihat tenur yaitu alat pemintal kapas untuk menjadi benang yang biasa dipakai Nogo Ema. Alat itu didapatinya tergantung di pagat. Ia mencoba memanggil anaknya dari semua arah. Ketika ia memanggil dari arah timur maka terdengar jawaban dari arah barat. Ketika ia memanggil dari arah barat terdengar jawaban dari arah timur, demikian seterusnya. Untuk terakhir kalinya ia mencoba memanggil anaknya dan terdengar olehnya jawaban dari dalam kara. Ia memasuki kara demi kara namun sia-sia segala usahanya itu. Dengan penuh kekecewaannya ia kembali. Setiba di rumah ia pun makan bersama ketujuh putanya. Ketika sedang makan iapun bertanya kepda ketujuh putranya: "Di manakah Nogo Ema?" Mereka menjawab: "Dia telah menjelma menjadi padi dan inilah dia yang kita makan sekarang ini." Mendengar jawaban itu Ose Lango pun menjadi marah.
Ia pergi menuju kara dengan memegang pisau di angannya. Semua kara dipotong sehingga padi-padi yang ada di dalam kara tercecer keluar ke segala arah. Padi-padi itu kemudian menjelma lagi menjadi manusia, dalam hal ini menjadi Nogo Ema kembali. Nogo Ema pun pergi ke Lewo Lema yaityu suatu wilayah yang terdiri dari beberapa kampung di Kecamatan Tanjung Bunga. Di sinilah Nogo Ema tinggal. Ia berdiam di atas Ile Padung yakni nama sebuah gunung di wilayah Lewo Lema.
Konon pada waktu itu orang hanya makan batu dan lumpur. Mereka belum menganal makanan seperti sekarang ini. Di dalam syair daerah dikatakan: "Apa laba wato maten gero parak wai walang." Pada suatu hari Boki Bisu, saudara laki-laki dari Terang Geba, pergi berburu. Ketika ia tiba di tempat yang bernama Wolo Saso terdengarlah olehnya lolong anjing. Ia menyangka anjing sedang mengejar binatang hutan. Tetapi setelah diamati dengan cermat ternayata anjing tersebut menggonggong sebatang buluh yang tegak berdiri pada rumpunnya. Ia sangat kecewa akan kenyataan tersebut dan karenanya bukluh tersebut dipotong dan dibawa ke rumah. Setiba di rumah batang buluh itu dipotong-potong untuk dijadikan riwe. Suling itu hendak ditiup sebagai penghibur hati di kala sepi.
Pada suatu malam ketika hendak tidur ia terlebih dahulu meniup suling itu sebagai penghibur hati. Boki Bisu merasa heran, karena bunyi suling itu tidak seperti biasanya. Dari tiupan itu terndengarlah suara bahwa Nogo Ema sudah datang di Ile Padung. Mendengar ucapan itu Boki Bisu langsung menyampaikannya kepada saudaranta Tranggeta. Mendengar ucapan itu Tranggeta. Mendengar ucapan itu Tranggeta memerintahkan saudaranya Boki Bisu agar besok harus berangkat menuju Ile Padung. Keesokan harinya Boki Bisu langsung berangkat menuju Ile Padung untuk berburu dengan anjingnya. Ia pun masuk hutan keluar hutan namun tidak seekor binatang buruanpun ia temukan. Hari sudah malam namun perjalanan ke Ile Padung masih jauh sehingga ia terpaksa kembali ke rumah.
Pada malam harinya sebelum tidur ia kembali meniup sulingnya. Bunyi tiupan tersebut sama saja yaitu bahwa Nogo Ema telah kembali dan berada di Ile Padung. Keesokan harinya ia pergi berburu lagi ke Ile Padung. Di tengah perjalanan terdengar lolong anjing menjadi-jadi. Anjing tersebut ternyata sedang mengejar Nogo Ema. Melihat hal itu Boki Bisu ikut mengejar bersama anjingnya. Mereka tiba di tepi pantai yang bernama Wai Mero, namun Nogo Ema tidak berhasil ditangkap. Ia menemukan sebentuk cincin yang sengaja ditinggalkan Nogo Ema. Cincin itu diambilnya, sambil mengejar terus Nogo Ema. Dalam pengejaran ini ia pun tiba disebuah bukit yang bernama Keladu. Di tempat tersebut anjing Boki Bisu menengadah ke atas sebuah pohon sambil menggonggong, ternyata Nogo Ema sedang duduk diatas pohon tersebut. Nogo Ema mengenakan selimut yang berwarna hitam, sebuah cincin, sepasang anting-anting dan pada tangannya terdapat gelang gading. Rambutnya tersisir rapih . Boki Bisu lalu bertanya: "Engkaukah yang diburu anjingku selama ini?" Nogo Ema menjawab/" Benar seperti katamu itu" Mendengar jawaban Nogo Ema itu, lalu Boki Bisu mengajaknya untuk turun dari atas pohon. Nogo Ema bersedia turun asalkan Boki Bisu dapat mencarikan sebuah batu ceper dan di tempatkan di bawah pohon agar nantinya Nogo Ema,menyuguhkan sirih pinang kepada Boki Bisu lalu keduanya makan bersama-sama. Sementara mengunyah sirih pinang, Boki Bisu bertanya kepada Nogo Ema: "Siapa sebenafnya engkau dan dari mana asalmu?" Nogo Ema menjawab: "Aku , Nogo Ema, asalku dari tanah Lio. kampungku bernama Siti Poi Mage Lio Nubaku, bernama Kuma Tonu Naru Bata, ibuku bernama Ose Longo dan ayahku bernama Pati Lae. Saya mempunyai saudara 7(tujuh) orang. Oleh karena pada waktu itu belum ada makanan pokok maka telah kurelakan diri untuk dibunuh oleh saudara-saudaraku. Setelah dibunuh saya lalau menjelma menjadi padi. Dengan demikian maka orang tuaku serta saudara-saudaraku mendapat bahan makanan. Sesudah ibuku Ose Longo menghancurkan tempat pengisi padi lalu tercecerlah padi kemana-mana. Hal itu dilakukan setelah ia mendengar bahwa saya telah menjelma menjadi padi. Sejak saat itu tercecerlah saya kemana-mana. Sesudah itu saya menjelma menjadi wanita sebagaimana saya ada sekarang ini. Saya datang ke sini membawa bahan makanan bagi mereka yang belum memilikinya." Selesai ia menceriterakan kisah hidupnya itu lalu ia balik bertanya kepada Boki Bisu: "Siapakan engkau dan dari mana asalmu?" Boki menjawab: "Saya bernama Boki Bisu, saya berasal dari Lewo Lelolong." Keduanya lalu pergi ke rumah Boki Bisu. Setelah jauh berjalan keduanya berhenti sebentar di sebuah hutan yang bernama Kelibang. Tempat ini kelak dijadikan ladang oleh Boki Bisu atas anjuran Nogo Ema. Cukup lama Nogo Ema menginap di rumah Boki Bisu. Pada suatu hari Boki Bisu pergi menebang pohon kayu pada tempat yang bakal dijadikan ladang. Setelah selesai ia membersihkan ladang tersebut, lalu dilaporkan segala sesuatunya kepada Nogo ma. Sesudah itu berkatalah Nogo Ema kepada Boki Bisu: "Apabila musim tanam tiba maka hendaklah engkau mengambil 7(tujuh) butir padi yang tersimpan di dalam tempat penyimpanan bibit yang terbuat dari daun lontar yang biasa disebut nuti. Dan bawalah ke ladang serta tanamkanlah bibit-bibit itu. Tetapi sebelum itu hendaklah engkau mendirikan terlebih dahulu sebuah padung era. Nuti supaya diletakkan di atas batu ceper di padung era dan sandarakan ia pada kayu yang terpancang di belakangnya. Sesudah itu potonglah seekor babi dan perciklah darahnya di atas nuti, batu ceper, dan kayu yang sedang terpancang itu."
Setelah selesai kesemuanya baru bukalah nuti dan ambillah 7(tujuh) butir padi tadi dan tanamlah di keempat sudut ladangmu. Dan sisanya hendaklah ditanam di tengah ladang. Apabila keseluruhannya dikerjakan sesuai petunjuk yang telah dipesankan maka engaku bersama keturunanmu akan bahagia karena kamu akan berkelimpahan makanan. Besok aku tidak akan tinggal bersamamu lagi. Saya akan pergi ke tempat lain dalam rangka membawa dan memperkenalkan bahan makanan." Keesokan harinya Nogo Ema pergi meninggalkan Boki Bisu. Semua prtunjuk kepada Boki Bisu dilakukan sebaik-baiknya. Empat hari kemudian Boki BIsu kembali ke ladangnya dan ternayata ladangnya telah penuh ditumbuhi padi. Pada hari yang ke delapan ia pergi ke ladang membawa seekor babi dan sebuah kelapa muda. Babi itu dikorbankan untuk menghormati dewi Nogo Ema pada Padung ERa. Darah babi itu dipercikan di atas batu ceper dan juga pada kayu yang terpancang di belakang batu ceper tersebut.
Air kelapa muda dipercikan pada Padung Era dan sebagian lagi dipercikan pada tanaman padi yang ada. Dengan demikian bahan makanan dari tahun ke tahun.
Sumber : Ceritera Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur
0 Response to "Cerita Nogo Ema"
Post a Comment