Cerita Jibau Malang
Alkisah Rakyat ~ Tersebutlah kisah di zaman dahulu kala di daerah Hamparan Peran berdiamlah Syekh Panjang Jangut yang telah tua dengan anaknya yang bernama Datuk Kejuruan yang sudah beristeri lebih kurang 30 tahun lamanya, tetapi tidak mendapat keturunan seorang anak pun. Begitu pulalah halnya dengan Datuk Malim Panjang yang bertempat tinggal di daerah Rantau Panjang, kawan sepermainan Datuk Kejuaruan sedari kecil, juga telah beruamah tangga lebih kurang 30 tahun lamanya tetapi tidak juga mendapat seorang keturunan anak pun.
Pada suatu hari, kedua sahabat karib itu bercakap-cakap mengenai nasib mereka, bahwa mereka ingin mempunyai keturunan. Berkatalah Datuk Kejurauan kepada Datuk Malim Panjang.
"Sekiranya nanti kita dirakhmati Tuhan Yang Maha Esa seorang anak; kalau anakku laki-laki dan Datuk Malim Panjang perempuan atau sebaliknya, semenjak dari lahirnya kita niatkan dan kita ikat dan tunangkan, setelah dewasa kita kawinkan.
Mudah-mudahan apa yang kita maksudkan menjadi niat kita bersama-sama dengan Tuhan memberkahidan mencucuri rkhmat-Nya, agar terkabul apa yang kita pohonkan dengan memperbanyak doa," katanya.
Selang 40 hari lamanya dari percakapan mereka itu mka dengan kodrat Tuhan Yang Maha Esa kedua isteri mereka sama-sama mulai tampak tanda hamil dan mengandung. Setelah cukup lamanya sembilan bulan sembilan hari, maka isteri Datuk Kejuaruan pun melahirkan anak kembar dua orang laki-laki, yang pertama (abangnya) diberi nama si Jibau dan yang kedua (adiknya) diberi nama si Nogong.
Karena besarnya hati Datuk Kejuruan, maka dipanggilnya orang suruhananya yang bernama Amat Lincah membeeri khabarnya kepada Datuk Malim Panjang tentang kelahiran puteranya sambil menyuruh bawa lampin bedungnya ke sana. Sesampai Amat Lincah di sana, waktu itu pulaha isteri Datuk Malim Panjang melahirkan puteri yang diberi nama Siti Ensah. Sejurus kemudian, Datuk Malim Panjang pun memanggil Amat Lincah untuk membawa pertukaran lampin bedung bayinya untuk dikhabarakan juga kepada Datuk Kejurauan bahwa bayinya telah lahir seorang puteri.
Lama kelamaan, waktu berjalan terus, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, bulan berganti tahun, si Jibau, si Nogong dan Siti Ensah pun dewasa. Selang beberapa meninggal dunia demikian jugalah Datuk Malim Panjang pun meninggal dunia juga. Hanya isteri mereka dan si Jibau dan Nogong lah yang masih hidup.
Pada suatu hari bunda si Jibau dan si Nogong memanggil kedua anaknya dan berkata, katanya.
"Hai Jibau, engkau telah cukup dewasa. Pergilah anakku menjenguk adikmu puteri Siti Ensah karena anakanda telah dipertunangkan amarhum ayahandamu dan ayahandanya sedari sejak mulai lahir dan telah dipertukarkan lampin dan bedungmu dengan adikmu Siti Ensah. Dialah bakal jadi isterimu." Mendengar perintah ibunya, maka si Jibau bertanya, tanyanya.
"Ya, bunda, dimanakah tunangan anakanda puteri Siti Ensah sekarang dan apa pula tandanya kalau pergi ke rumahnya?" Bundanya berkata.
"Kalau anakanda ke tempatnya nanti, pergilah anakanda ke Rantau Panjang. Apabila anakanda melihat di sana air sungai mudik ke hulu, pohon kayu mengikut sujud, itulah tandanya nanti bahwa rumah dan Siti Ensah berada di tempat itu. Dan janganlah anakanda tunggu lebih lama lagi. Besok sebelum ayam berkokok pagi subuh, berangkatlah ke sana xsegera," kata ibunya dan kepada si Nogong, ia berkata pula.
"Hai, anakanda Nogong, apa pula maksud di hatimu; apakah ada pula anak dara yang telah berkenan dihati anakanda? Katakanlah kepada bunda bagaimana harus diperbuat."
"Ya, bundaku, maksud anakanda biarlah dulu anakanda pergi menuntut ilmu pertapaan. Tempat yang anakanda maksud kan itu ialah di Bukit Timbunan Tulang. Disana anakanda akan bertapa selama 40 hari lamanya. Esok harinya anakanda akan berangkat sebelum ayam berkokok pada subuh pagi hari," sahut di Nogong.
"Kalau demikian maksud anakanda, baiklah, tetapi berhati-hatilah dalam segala hal yang akan dihadapi," kata bundanya.
Kemudian berkatalah si Jibau kepada adiknya Nogong. "Hai adinda Nogong, kalau adinda Nogong pergi bertapa, bagaimana pula halnya kakanda nanti; dan betapa caranya nanti kalau kakanda pergi melihat Siti Ensah, karena telah ada firasat kurang baik pada diriku," katanya.
"Kalau demikian halnya, lebih baik kakanda katakan pada adikanda tanda dan alamat kepada adikanda supaya adikanda maklum sekiranta ada mara bahaya menimpa diri kekanda sewaktu adikanda dalam pertapaan," jawab adiknya.
"Baiklah adik Nogong, dengarkanlah pesanku ini! Kalau bahaya besar menimpa diriku alamat dan tandanya, petir berbunyi di atas kepalamu Nogong dan bintang di langit terbit di tengah hari,: kata si Jibau.
"Baiklah kakanda Jibau, akan kuingat dan kupegang teguh pesan kakanda itu," jawab adiknya.
Keesokan harinya sebelum subuh pagi, si Jibau berangkat menjenguk tunangannya dan si Nogong berangkat menuju bukit Timbunan Tulang untuk bertapa selama 40 hari. Jibau pergi dengan naik perahu besar lengkap dengan meriam. Dicabutnya pokok sibung untuk kayu penggalahnya. Dalam perjalanan itu sekali menggalah dua tiga tanjung terlampau. Maka tak berapa lamanya perjalanan itu, sampailah Jibau ke hulu sungai Rantau Panjang.
Dilihtanya tanda, air sungai mudik ke hulu, pohon kayu mengikut sujud, maka teringatlah ia akan petuah ibunya bahwa inilah dia rumah puteri Siti Ensah. Jibau pun membunyikan meriamnya sebanyak tiga kali dentuman. Mendengar dentuman meriam itu bunda Siti Ensah terkejut, lalu bertanya kepada anaknya Siti Ensah yang sedang menyulam.
Siti Ensah berdiri, melihat dari jendela, nampaknyalah seorang pemuda gagah sedang menuju ke rumahnya. Dan Siti Ensah melihat air sungai mudik ke hulu, pohon kayu tunduk sujud. Kemudian bundanya bertanya.
"Siapakah gerangan yang datang itu, ya, Siti Ensah?"
"Ya, bunda, adapun anak muda yang datang itu adalah kanda Jibau," jawab Siti Ensah.
"Kalau begitu, panggillah Selamat Ranjang Gombak untuk melihatnya," kata ibunya. Lelaki ini bertanya kepada Jibau.
"Siapakah gerangan yang datang ini?" Si Jibau menjawab,.
"Hamba yang datang ini adalah si Jibau." Mendengar jawaban itu, Selamat Panjang Gombak pun berlari-larilah mengabarkannya kepada Siti Ensah dan bundanya.
"Kalau begitu, sambutlah dia Selamat Panjang Gombak, dan ke rumah ini." Selamat Panjang Gombak pun pergilah menyambut si Jibau. Sampai di halaman rumah, bundanya dan Siti Ensah menyongsong kemuka pintu mempersilakan si Jibau masuk ke rumah. Sesudah di rumah, si JIbau dipersilakan duduk di atas tikar ambal berbunga yang telah dibentangkan, sementara Siti Ensah menyuguhkan tepak sirih cerana sebagai penghormatan memakan sirih tersebut dilihatnya pinang masih bulat-bulat dan sirih cari-cemarik. Si Jibau heran.
"Bagaimana memakan sirih yang telah carik-cemarik dan pninang bulat-bulat serta apa maksud dan artinya ini," pikirnya. lalu Jibau bertanya kepada Siti Ensah.
"Bagaimana memakan pinang bulat-bulat dan sirih yang carik-cemarik, adinda?"
"Demikianlah halnya kakanda Jibau, memulai sesuatu pekerjaan harus mempunyai syarat agar mudah dilakukan," jawab Siti Ensah. Jibau tersenyum dikulum lalu diambilnya sirih itu, rupanya sirih berdandan. Diambilnya pinang bulat itu lalu diembusnya, rupanya pinang itu lepas berkait-kait, lalu dimakannyalah sirih itu.iada berapa lama antaranya, nasi dan lauk pauknya telah masak pula. Maka dihidangkanlah nasi itu di hadapan si Jibau seraya dipersilakan menyantapnya. Sewaktu membuka tutup hidangan, dilihatnya nasi searah tersusun macam berukir lalu dimakannya. Dan tak berapa lama kemudian, selesailah Jibau makan. Hidangan itu pun diangkat kembali lalu disimpan. Sambil duduk-duduk menghirup teh mereka bercakap-cakap. Bunda Siti Ensah menanyakan pertunangannya dan pelaksanaan peresmian perkawinan mereka nantinya.
"Cobalah anakanda Jibau tenung dan lihatkan mengenai pertunangan dan pertemuan kalian berdua yang akan datang itu," katanya.
"Baiklah, bunda, biarlah anakanda coba-coba menenunnya tetapi adakah jeruk purut disini?" katanya.
"O, ya, ada kami tanam sepokok di samping halaman sebelah rumah ini," jawab ibunya sambul menyuruh Selamat Panjang Gombak mengambl jeruk tersebut. Jeruk yang diambil Selamat Panjang Gombak itu diberikannya kepada si Jibau dengan air di mangkuk putih dan jeruk ditaruh di dalam piring, lalu diletakkan di muka si Jibau. Jibau mengambil jeruk itu lalu dipotongnya. Setiap potongan itu jatuh dalam mangkuk putih, setiap itu pula ia menggelengkan kepalanya. Melihat keadaan itu, hati bunda Siti Ensah berdebar-debar, ingin segera tahu apa yang ditenungnya itu," lebih-lebih lagi Siti Ensah. Dengan gaya yang tidak sabar lagi bunda Siti Ensah menanyakan kepada si Jibau bagaimana menurut pandangannya. Jibau mengangkat kepalanya dan dengan tenang ia berkata kepada bunda Siti Ensah bahwa banyaklah halanganbesar yang akan di hadapinya nanti. Mendengar hal itu Siti Ensah pergi ke dapur menepuk abu dengan tangannya tujuh kali, lalu pingsan. Melihat kejadian itu bundanya bingung dan menangis seraya berkata.
"Bagaiamanakah ini anakanda Jibau, tolonglah segera obatkan (tawarkan) agar adikmu lekas sadsr," katanya. dengan tak membuang waktu lagi, Jibau turun lalu pergi ke bawah pokok jeruk.
Sebuah jeruk ditawar-tawarkan lalu diciumkannya kepada Siti Ensah. Tak lama antaranya, Siti Ensah kembali sadar seperti biasa.
Melihat Siti Ensah telah tenang, Jibau pun mohon diri untuk pulang ke kampungnya. Disalaminya bunda Siti Ensah dan Siti Ensah menyalami si Jibau pula. lalu Jibau pun turun ke halaman menuju tepian temat perahunya berlabuh diiringi mereka berjalan bersama-sama melepas si Jibau berangkat. Bagaimana halnya orang yang sedang tersangkut kasih terpaut sayang taklah dapat terungkapkan lagi, hanya insan yang merasakannyalah yang mengetahuinya.
Tersebut pylalah kisah akan Datuk orang kaya Muda. Ia mendapat berita bahwa si Jibau pernah mendatangi rumah Siti Ensah. karena itu ia merasa cemburu. Kiranya ia bermaksud hendak mempersunting Siti Ensah jadi isterinya. Apalagi Siti Ensah yang rupanya cantik bagaikan bulan empat belas purnama; putihnya melepak bagaikan umbut muda, pipinya bagaikan pauh dilayang, matanya bagaikan Bintang Timur, alis matanya bagaikan semut beriring, hidungnya mendasun tunggal, bibirnya bagaikan merah delima merekah, rambutnya bagaikan mayang terurai; tak ada tandingannya di negri itu.
Datuk Orang kaya Muda pun berangkatlah menuju tempat Siti Ensah membawa perahu besar lengkap dengan meriamnya serta pengawalnya. Sesampai di hulu sungai dekat rumah Siti Ensah, Datuk Orang Kaya Muda pun memerintahkan kepada pengawal- pengawalnya agar membunyikan meriamnya sebanyak tujuh kali dentuman. Mendengar bunyi meriam yang bertalu-talu itu maka bertanyalah bunda Siti Ensah kepada puterinya. "Apakah si Jibau kebali?" tanyanya.
"Tak munhgkin, Bunda, karena ia baru tiga hari dari sini," jawab anakny. Bunda Siti Ensah pun menyuruh Selamat Panjang Gombak melihat siapa gerangan yang datang itu. Rupanya adalah Datuk Orang Kaya Muda, yang nampak-nampaknya menuju ke rumah Siti Ensah juga.
Sesampai Datuk Orang Kaya Muda di rumah siti Ensah lantar dijalankannyalah tipu muslihatnya. Dia menyatakan hendak menjemout Siti Ensah dan bundanya, pesan dari si Jibau mereka harus turut karena ia sedang sakit keras. dengan pancingan yang demikian itu terjebaklah mereka anak-beranak turut bersama-sama Orang Kaya Muda, berangkat naik perahu besar menunju tempat Orang Kaya Muda. Di tengah perjalanan, dopisahkanlah anak- beranak itu, ibunya di haluan dan anaknya dikuncikan dalam kamar. Orang Kaya Muda serta dikatakannya, bahwa semua pembicaraannya itu adalah bohong belaka, karena yang sebenarnya ia ingin memperisterikan Siti Ensah sebab kecantikannya. Mendengar keterangan Datuk itu Siti Ensah jadi geram sekali dan meronta - ronta hendak melawan. Tetapi beberapa pengawal menangkapnya atas perintah Datuk Orang Kaya Muda, lalu dirantau di situ.
Setelah perahu besar di tepian negeri Datuk Orang Kaya Muda, dengan segera Siti Ensah dibawa ke istana lalu dikurung dalam kamar istana itu. Ibunya dikurung di belakang istana itu.
Kemudian Datuk Orang Kaya Muda pergi ke rumah Datuk Jibau ( Syekh Panjang Janggut) yang ada menyimpan keris Tumbuk Lada Siganjak Eras yang bisanya tujuh cula. Sesampai di Balai Besar Syekh Panjang Janggut, dikatakannyalah bahwa si Jibau mendapat halangan besar dan menyuruhkan agar kerisnya diambilkan datuknya untuk dipergunakan agar terlindung dari bahaya besar yang sedang dihadapinya. Karena Syekh Panjang Janggut percaya saja akan perkataan Orang Kaya Muda itu, ia pun segera masuk ke kamar untuk mengambil keris Tumbuk Lada Sigamnjak Eras. Keris itu tak bersarung karena sarungnya tersimpan dalam peti besai yang anakj kuncinya telah lama hilang Waktu Orang Kaya Muda menerima keris itu, sempat jiga ditanyakannya.
"Mana sarungnya Tuk?" Datuk Syekh Panjang Janggut menyatakan bahwa sarung keris itu tertinggal dalam peti besi yang kuncinya telah hilang.
"Kalau demikian Tuk, baiklah," kata Orang Kaya Muda seraya bergegas-gegas pergi meninggalkan Balai Besar itu menuju istananya.
Setiba diistananya, dilihatnya si Jibau telah ada di sana, karena si Jibau mendapat khabar bahwa Siti Ensah berada di istana itu karena ditawan oleh Orang Kaya Muda. Ia mendatangi si Jibau dan bertanya dengan suara lantang menanyakan maksud kedatanag si Jibau.
"Memang aku tak pernah menginjak istanamu ini, tetapi kali ini terpaksa aku datang. Maksud kedatanganku kemari ialah hendak menyadarkan keangkuhanmu, kesombonganmu, kekejaman dan kekuatan anjaranmu itu. Nah, sekarang bebaskan Siti Ensah dan bundanya segera," katanya.
"Diam mulutmu Jibau," jawab Orang Kaya Muda. "Sekaramg kutanya padamu dua perkara saja. Pertama, sayang kepada nyawamu, tinggalkan tempat ini; Kedua, kalau mau ke neraka, ya..... terimalah bagianmu, namun Siti Ensah takkan keberikan padamu, mengerti? Nah, sekarang turunlah ke lapangan mengadu tenaga yang mau harimau dan singa jantan; disitu barulah kita tahu nantinya," katanya.
Sesampai di lapangan, mereka berjumpa rupa; dan terjadilah pertarungan sengit, tangkap menangkap, empas menghempas, hingga terbenam badan sampai ke pinggang; demikianlah silih berganti. Nampaknya Orang Kaya Muda mulai lemas dan hampir tak berdaya lagi, maka dicabutnyalah keris Tumbuk Lada Siganjak Eras, lantas ditikamkannya kepada si Jibau. Karena Jibau tak menyangka sama sekali, tertikamlah perutnya dan seketika itu juga terasa panas berbisa sekujur tubuhnya. Karena tak tertahan lagi, si Jibau pun melarikan diri, lalu terjun ke sungai di lubuk gelagah.
Orang Kaya Muda meresa puas dan menyangka bahwa si Jibau segera tewas mengingat keris itu sangat berbisa, karena setiap orang yang kena tikam keris itu akan segera menemui ajalnya.
Kemudian Orang Kaya Muda menpatkan Siti Ensah dan memberitahukan bahwa Jibau telah tewas hanyut di sungai dan tak ada gunanya diharap-harapkan lagi. Mendengar berita kematian si Jibau itu, darahnya tersirap lantas ia mencuri lari dan mengambil segendeng kelapa. Ia pergi mencari si Jibau ke tepi sungai dan terjun ke lubuk, tetapi tidak juga bersua. Siti Ensah bertambah rindu dan sedih lalu terus mencari di mana si Jibau brada, namun tidak bersua juga. Karena lelahnya, ia pun tertidur di bawah pokok Baharu.
Ketika ia terlena antara tidur dan jaga, bagai bermimpi datanglah seorang tua menyerupai Datuk Panjang Janggut, mengatakan. "Kalau hendak mencari Jibau, carilah di lubuk gelagah." Seketika itu juga tersentaklah ia dan mengingat-ingat mimpinya lalu bangkit segera menuju lubuk gelagah. Disana, dilihatnya si Jibau ada berendam dalam lubuk itu. Ia segera terjun ke lubuk dan mengajak si Jibau supaya naik ke darat.
"Siti Ensah, tinggalkanlah aku di sini, karena aku tak tahan lagi dengan bisa keris Ganjak Eras itu," jawabnya. Siti Ensah terus membujuk.
"Kanda, bisa keris itu dapat diobati dengan penawar yang disampaikan oleh Tuk Panjang Janggut waktu aku tertidur di tepi sungai ini. Sekarang naiklah kita ke darat dulu," katanya.
"Baiklah," kata Jibau. Siti Ensah membacakan doa mantra tawar itu, dan tak berapa lama antaranya turunlah rasa bisa itu, Badan si Jibau pun segar kembaliu seperti biasa.
Terdengarlah khabar oleh DAtuk Orang Kaya Muda bahwa Jibau masih hidup dan sama-sama berjalan dengan Siti Ensah. Ia pun berusaha menangkap mereka. Pengawal- pengawal dan orang-orang kuatnya diperintahkan agar segera mungkin menangkap si Jibau dan Siti Ensah. Waktu Jibau dan Siti Ensah mau menuju ke rumahnya Balai Besar, berjumpalah mereka dengan pengawal-pengawal dan orang - orang kuat Orang Kaya Muda. Pertarungan satu lawan banyak pun terjadilah, hingga si Jibau dan Siti Ensah dapat ditangkap lalu diikat. Kemjudian dibawa ke istana. Si Jibau dirantaikan di bawah tangga rumah dan Siti Ensah di kurung dalam dalam kamar laludikunci dari luar.
Nasib si Jibau sungguh malang nampaknya, karena siapa saja yang hendak naik ke istana harus menggesekkan kaki dulu ke kekapala si Jibau narulah naik ke istana. Tiga hari si Jibau berantai di bawah tangga istana tidak diberi makan dan minum, mulailah ia tak berdaya.
Bujuk rayu, paksa dan sebagainya, tetapi tidak berhasil. Akhirnya Siti Ensah teringat akan si Nogong yang sedang bertapa dan tak lama lagi akan selesai. Dengan cara siasat ia menyatakan bersedia mengikuti Orang Kaya Muda tetapi dengan syarat:
"Kita harus bersanding dan mengadakan pesta besar, yaitu selama enggang mengeram, dan pohon rumbia berjantung. Kalau kedua syarat ini terpenuhi, barulah kita usai bersnding dan barulah kita bersama-sama," katanya.
Akan si Nogong, sewaktu ia khusuk bertapa itu, tiba-tiba bunyi petir di atas kepalanya dan bintang terbit tengah hari. Ia pun tersentak dari semedinya lalu teringat akan abangnya si Jibau dalam bahaya besar. Ia pun keluar dari pertapaannya segera pulang menuju rumahnya Balai Besar. Dijumpainya atuknya, dan ia mendapat cerita. Ditanyakannya tentang keris itu untuk dipakai tetapi dengan rasa kesal atuknya mengatakan bahwa keris itu sudah di tangan Orang kaya Muda. Kemudian ia memintakan sarungnya saja, tetapi itu pun payah didapat karena kuncinya telah hilang. Dengan paksa dikuatkannya peti itu lalu sarung pisau itu diambilnya dan diselipkan ke pinggangnya. Dengan rasa tak sabar lagi, Nogong mohon doa restu atuknya lalu terus berlari -lari meninggalkan rumah Balai Besar menuju rumah Orang Kaya Muda.
Di sana dilihatnyalah si Jibau terantai di bawah tangga istana. Sehera didatanginya si Jibau serta-merta merenggutkan rantai -rantai itu hingga bertaburan. Si Jibau pun terlepaslah dari belenggu rantai Orang Kaya Muda itu. Si Jibau dan Nogong langsung naik ke istana mendatangi Orang Kaya Muda yang sedang bersanding di atas pelaminan dengan Siti Ensah. Nogong terus datang ke muka pelaminan itu sambil merenggut Orang Kaya Muda lalu dicampakkannya ke bawah ke halaman istana. sempat juga ia berkata kepada abangnya.
"Kanda uruslah Siti Ensah," katanya, lalu melompat ke halaman berhadapan dengan Orang Kaya Muda. Mereka pun bertarunglah mengadu kekuatan dan kesaktian masing-masing. Orang -orang di istana pada ketakutan, bubar, lari kesana kemari puntang - panting karena pertarungan sengit antara Nogong dengan Orang Kaya MUda itu. Mereka empas menghempas, pijak memijak, dan Orang Kaya Muda telah banyak mendapat cedera lagi berdarah, itu pun karena masih ada padanya keris Ganjak Eras yang tersisip di pinggangnya. Tetapi karena pukulan tenaga dalam Nogong berisi, Orang Kaya Muda mulai lemas dan teringatlah ia akan keris di pinggangnya. Pisau itu dicabutnya, lalu ditikamkannya kepada si Nogong. Segera pula disambut si Nogong dengan menahankan sarung kerisnya, sehingga keris Ganjak Eras masuk kesarungnya; maka terlepaslah keris itu dari tangan Orang Kaya Muda. Oleh si Nogong keris itu dicabutnya lagi dan kembali dipegang sebelah kanannya dan sarungnya dipegang sebelah kirinya, lalu ditikamkan kepada Orang Kaya Muda dan.... mengena. Seketika itu juga panas bisa keris itu menjalar ke sekujur tubuh Orang Kaya Muda hingga menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih. Nogonhg mendekatinya hendak menghabisinya tetapi Orang Kaya Muda minta ampun agar jangan ditewaskan. Nogong berkata.
"Baiklah, kalau begitu; kuberi waktu untukmu melihat dan mempersaksikan Siti Ensah dengan si Jibau diresmikan dan dipersandingkan di atas pelaminan yang kau buat, sekaligus dinobatkan menjadi kepala pemerintahan di negeri kita ini', katanya.
Orang Kaya Muda yang angkuh itu, kini mukanya bertambah biru, akhirnya menghembuskan nafasnya yang penghabisan tanpa ada yang kasihan melihatnya, dan tak seorang pun yang berani mendekatinya karena takut akan si Nogong pertapa itu.
Si Jibau kini disambut rakyat dengan gembira dan senang hati sebagai kepala pemerintahan di negeri itu. Dan sejak Jibau memegang tampuk pemerintahan, rakyat dijamu, fakir miskin diberi hadiah dan rakyat oun hidup rukun dan damai serta aman tenteram.
Sumber: Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara
0 Response to "Cerita Jibau Malang "
Post a Comment