Contoh Naskah Drama Pendek 6 Orang Lucu (Kehidupan Sosial)
Dalam postingan kali ini, saya akan membagikan naskah drama pendek 6 orang lucu semoga bisa menjadi referensi Anda yang membutuhkan.
Baiklah, inilah...
Karya Iwan Simatupang
ADEGAN I
ADEGAN II
ADEGAN III
ADEGAN IV
ADEGAN V
LAYAR
Baiklah, inilah...
naskah drama pendek 6 orang lucu
RT NOL RW NOL
Karya Iwan Simatupang
ADEGAN I
KOLONG SUATU
JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU
PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN.
PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU
TOMPLOK.
DUA TUNGKU,
BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI
JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA,
DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN
MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA
GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI.
KAKEK
Rupa-rupanya, mau hujan lebat.
PINCANG
(Tertawa)
Itu kereta-gandengan lewat, kek!
KAKEK
Apa?
PINCANG
Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
KAKEK (Menggeleng-Gelengkan Kepalanya, Sambil
Mengaduk Isi Kaleng Mentega Di Atas Tungku)
Gandengan
lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.
ANI
Lalu?
KAKEK
Hendaknya, peraturan itu diturutlah.
ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.
KAKEK
Kalau begitu apa guna larangan?
ANI
Untuk dilanggar.
KAKEK
Dan kalau sudah dilanggar?
ANI
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu
namanya: bernegara.
KAKEK MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA,
TERUS MENGADUK MASAKANNYA. SUARA GEMURUH LAGI.
PINCANG
Kali ini, suara itu adalah suara guruh.
ANI
(Tersentak)
Apa?!
PINCANG
(Tertawa)
Itu neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak
lama lagi hujan turun.
ANI KESAL. IA PERGI KETEPI
BAWAH JEMBATAN, MELIHAT KELANGIT. DIACUNG-ACUNGKAN TINJUNYA BERKALI-KALI
KELANGIT. SUARA GELUDUK.
ANI
Sialan! Ina!
INA
Apa, kak?
ANI
Percuma dandanan!
INA
Ah, belum tentu juga hujan turun.
(SUARA GELUDUK LAGI).
ANI
(Kesal)
Belum tentu, hah! Apa kau pawang
hujan? Dengarkan baik-baik: Yang belum tentu adalah –kalau hujan benar-benar
turun– kita bisa makan malam ini.
PINCANG
Sekedar pengisi perut saja. Ini juga hampir
masak.
ANI
(Tolak Pinggan Di Hadapan Pincang)
Banyak-banyak terimakasih, bang!
Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong
sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk,
campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar
ingin makan yang enak. (Bandarnaskah.blogspot.com )Sepiring nasi putih panas,
sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur
balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang
raja yang kuning emas…
SELAMA ANI NGOCEH TENTANG
MAKANAN ENAK ITU, YANG LAINNYA MENDENGARKAN DENGAN PENUH SAYU. BERKALI-KALI
MEREKA MENELAN LIURNYA. SUARA GELUDUK. SEMUANYA MELIHAT SAYU PADA ANI.
ANI
(Histeris)
Oh, tidak. Tidak! Hujan tak boleh turun
malam ini. Tidak boleh!
INA
(Mendekatinya)
Sudahlah, kak. Hujan atau tak hujan, kita
tetap keluar.
PINCANG
Mana bisa. Laki-laki mana mau sama kalian
kuyup-kuyup?
INA
Ah, abang seperti tahu segala. Lagi, kata
siapa kami bakal basah kuyup?
KAKEK
(Dengan Suara Datar)
Siapa jalan di hujan, basah. Biasanya
begitulah.
INA
Kalau kami – oh, naik becak?
PINCANG
Ah, jadi kalian bakal operasi dengan becak?
Uang untuk ongkos becaknya, gimana?
INA TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.
PINCANG
Oh, pakai kebijaksanaan dengan bang
becaknya, hah?
INA TERUS TERTAWA. ANI IKUT MENCEMOOH.
PINCANG
(Gemas)
Becak jahanam!
INA
Lho, kok jahanam?
PINCANG
Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak yang
hitam itu lagi, kan?!
INA (Geli)
Hitam manis, dong. Oh, jadi kau kenal dia? (Tertawa Lagi) Kau cemburu apa?
PINCANG TIBA-TIBA MENYEPAK
KUAT-KUAT SEBUAH KALENG KOSONG DI TANAH.
ANI
He, sabar dikit, bang! Apa-apaan nih?! Sejak
bila si Ina ini hanya milikmu saja, hah?
PINCANG DIAM, KEMUDIAN BERSUNGUT-SUNGUT.
ANI
Kira-kira dikit, ya. Kau ini
sesungguhnya apa, siapa? Berani-berani cemburu. Cih, Laki-laki tak tahu
diuntung!
INA
Ah, sudahlah, kak.
ANI
Apa yang sudah? Aku ingin tanya
kau, hei Ina: Sejak bila kau ini tunangan resminya, atau isteri-isterinya, atau
gundik-gundiknya, hah?
INA
Tak pernah.
ANI
Mentang-mentang semua main pordeo di sini.
PINCANG
Pordeo? Akupun punya sahamku dalam kehidupan
di sini.
ANI
Saham? Kau hingga kini kontan
mencicipi hasil sahammu yang ½ busuk semua itu. Cih, labu siam, bawang prei,
beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua busuk. Dan itu kau anggap
senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk, hah?! Kau anggap apa si Ina
ini? Kau anggap apa kami wanita ini, hah?
KAKEK
Sudahlah. Kalau kalian tak lekas
berhenti cekcok, aku kuatir nama Raden Ajeng Kartini sebentar lagi bakal
disebut-sebt nanti di sini.
ANI
(Kesal Melihat Kakek)
Ayo Ina, lekasan pakai baju. Kita lekas
pergi.
KAKEK
(Nada
Kelakar) Nasi putih sepiring…
PINCANG
(Idem)
Sepotong daging rendang, bumbunya kental
berminyak-minyak…
KAKEK
Telor balado…
PINCANG
Teh manis panas segelas penuh…
KAKEK
Dan sebagai penutup: sebuah pisang raja…
PINCANG
Warnanya kuning keemas-emasan…
ANI
(Selesai Mengenakan Bajunya)
Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan
kami nikmati malam ini. Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat
memakannya malam ini. Ya, malam ini juga!
INA
(Juga Sudah Siap)
Mari, kak.
SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL
KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT.
INA
(Melihat Ke Ani)
Gimana, kak?
ANI
Terus, pantang mundur! Kita bukan dari
garam, kan?!
KAKEK
Selamat bertugas! Entah basah, entah kering.
Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.
ANI
Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan
pulang bawa oleh-oleh.
ANI DAN INA DENGAN SEPOTONG
TIKAR ROBEK MENUTUPI KEPALANYA, PERGI. HUJAN SEMAKIN LEBAT JUGA.
ADEGAN II
HUJAN MASIH
TURUN. SESEKALI TAMPAK KILATAN. PINCANG DAN KAKEK SEDANG MAKAN, LANGSUNG DARI
KALENG MENTEGA.
KAKEK
Nasi putih panas…
PINCANG (Menjilati
Jari-Jarinya)
Rendang, telor… eh, apalagi
katanya tadi?
KAKEK (Terus Mengorek Dari
Kaleng Mentega Dengan Jari-Jarinya)
The manis panas, pisang raja…
PINCANG
Warnanya kuning emas. Bah!
PINCANG MEMBANTING KALENGNYA
KETANAH
KAKEK (Memburu Kaleng Yang
Mental Itu)
Ah, sayang. Masih ada.
KAKEK MENGOREKI KALENG ITU, MAKIN, DAN MENJILATI
JARI-JARINYA.
PINCANG
Aku heran, kakek kok masih hafal
semuanya itu.
KAKEK (Terus Menjilati
Jarinya)
Hafal apa?
PINCANG
Rendang, telor, pisang raja
segala.
KAKEK (Tertawa)
Lho, kenapa mesti lupa?
PINCANG
Setelah bertahun-tahun hidup
begini!
KAKEK SELESAI
MENGOREKI ISI KALENG. RUPANYA ISINYA BETUL-BETUL HABIS. KALENG DITUNGKUPKANNYA
DI ATAS TUNGKU.
KAKEK
Ada puntung?
PINCANG (Menggeleng)
Yang terakhir, Kakek sendiri tadi
yang menghisapnya.
KAKEK (Tertawa)
Oh, ya.
KAKEK DUDUK DI
SAMPING PINCANG DI BETON SEMEN SALAH SATU PILAR JEMBATAN.
KAKEK
Kini, kau dengar baik-baik.
Puntung rokokmu yang kuhisap tadi siang, itu bisa aku lupa. Tapi, bagaimana aku
bisa melupakan nasi panas, daging rendang, telor, pisang raja? (bandarnaskah.blogspot.com)
Tidak bisa, nak. Sama seperti tidak bisanya aku melupakan ranjang kanak-kanakku
dulu; melupakan bubur merahputih yang sangat kusukai, bila ibuku menyuguhkannya
padaku sehabis aku sakit parah; melupakan uap sanggul ibuku sehabis mandi,
kemudian melenakan aku tidur dengan cerita-cerita wayang, tentang Gatotkaca
yang perkasa, tentang Dewi Sinta, tentang…
KAKEK MENGUAP BERKALI-KALI
PINCANG (Terharu)
Tidurlah, kek. Kau mengantuk.
KAKEK (Tertawa, Sambil Menekan Kuapnya)
Ah, tidak. Aku seolah kembali
merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. Kenangan,
inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang
senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan.
Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah
diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri.
Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan
ini?
PINCANG
Semua persoalan ini tak bakal
ada, bila kita bekerja, punya cukup kesibukan. Semua kenangan, harga diri, yang
Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis
manusia-manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat kita manfaatkan
sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak.
KAKEK
kalau aku tak salah, kau tak
henti-hentinya cari kerja.
PINCANG
Ya, tapi tak pernah dapat.
KAKEK
Alasannya?
PINCANG
Masyarakat punya
prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini.
KAKEK
Eh, bagaimana rupanya seperti
jenis kita ini?
PINCANG
masyarakat telah mempunyai
keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita
ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya.
KAKEK
Menurut mereka, kita cuma bisa
apa saja lagi?
PINCANG
Tidak banyak, kecuali barangkali
sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor
kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap
kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah.
KAKEK
Sekiranyalah mereka tahu apa-apa
kemahiran.
PINCANG
Jangan kecualikan aku, Kek. Kakek
dan aku sama-sama termasuk mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa
saja, asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan ini.
KAKEK
Tampaknya mereka sama sekali tak
sudi memberi kesempatan itu.
PINCANG
Tampang kita saja sudah cukup
membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah yang dapat kita
perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang
kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang berdarah, salah
kitakah ini? Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap
dari air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah ini?
KAKEK
Hukum masyarakat tetap begitu.
Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan.
PINCANG
Kalau aku memiliki stelan
gabardin, dengan sepatu dari kulit macan tutul, dengan dasi sutera, dan
rambutku dibelur dengan minyak luar negeri, Kakekku yang terhormat: Apakah di
kolong jembatan ini masih tempatku? Apakah masih manusia gelandangan namanya
aku?
KAKEK
Ya, dimana mesti mulai, dimana
mesti berakhir, bagi orang-orang seperti kita ini?
PINCANG
Dunia gelandangan adalah suatu
lingkaran setan, Kek, yang tiap hari tampaknya kian keker, kian angker juga.
Satu-satunya lagi yang masih bisa menolong kita, hanyalah kebetulan dan nasib
baik saja.
KAKEK
Menanti-nantikan datangnya
kebetulan bernasib baik itulah yang sebenarnya kita lakukan tiap hari di kolong
jembatan ini.
PINCANG
Satu per satu kita –
pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai
butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP,
lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa
upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan
sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
KAKEK
Itu masih mendingan. Itu namanya,
bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal
bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa
jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita?
ADEGAN III
HUJAN TELAH
REDA. KEMBALI JELAS DERU-DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. MASUK BOPENG DAN
ATI.
BOPENG
Belum tidur kalian?
PINCANG
Hm, lambat juga kau pulang kali
ini.
KAKEK
Ada puntung?
BOPENG (Tertawa)
Sabar. Rokok sungguhanpun ada.
Malah sebungkus utuh. Juga aku bawa nasi rames empat bungkus.
KAKEK
Na… nasi rames? Kau kan tak
merampok hari ini?
BOPENG (Tertawa)
Syukur, belum sejauh itu aku
perlu merendahkan diriku, Kek.
PINCANG
Kata orang, tak yang lebih rendah
lagi dari gelandangan.
BOPENG (Bernafsu)
Siapa yang memompakan kepintaran
itu dalam kepala kakek?
KAKEK (Tertawa)
Sabar, sabar! Mana itu nasi ames?
Katakan, empat bungkus.
BOPENG
Yu, buat kalian saja. Aku, eh,
kami sudah makan tadi.
BARULAH KAKEK DAN PINCANG SADAR AKAN KEHADIRAN ATI.
KAKEK
Ooo! Kita kedatangan tamu nih.
PINCANG (Batuk-Batuk)
Darimana kau petik dia? Lalu
bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu?
BOPENG (Marah)
Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia
ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari
suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya
tetap tak ketemu.
KAKEK
Sudah naik kapal, barangkali.
BOPENG
Mungkin juga.
PINCANG
Apa dia kelasi?
BOPENG (Tersinggung)
Bukan kelasi saja yang boleh naik
kapal.
KAKEK
Dugaanku begini: Dia suruh anak
ini menunggunya di pintu pelabuhan. Lantas dia sendiri masuk pelabuhan,
kemudian dia keluar lagi dari pintu lainnya, terus kabur entah kemana.
BOPENG
Terhadap dugaan Kakek itu, bisa
saja kuhadapkan sekian dugaan lainnya.
KAKEK
Dugaan orangtua biasanya lebih
berdasar.
BOPENG
Firasat atau pengalaman nih, Kek?
KAKEK
Dua-duanya. Aku sendiri dulu eh,
kelasi.
PINCANG(Tertawa)
Ha, dimana-mana kawin, Kek ya?
Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan jani-jani setinggi langit
berbaku-bakul.
BOPENG (Sangat Tersinggung)
Diam kau!!!
ATI
Ya, dia berjanji mau bawa saya
kekampungnya di seberang. Katanya, ayahnya raja kopra di sana. Dia mau beri
saya…
KAKEK
Sudahlah, nak. Aku sudah
mengerti. Mari kita lihat kini persoalan anak. Anak kini sudah di sini, dan
kalau saya tak salah, anak tak ingin pulang kekampung dulu?
ATI
Malu, Kek. Kami berangkat dari
sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan segala pakaian dan
perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur.
PINCANG
Ck, ck, ck. Hebat benar orang
seberang itu! Eh, tapi apa benar dia dari sana?
ATI
Kata dia begitu.
BOPENG HABIS
SABARNYA. DITERKAMNYA PINCANG, DICEKIKNYA. KAKEK MELEPASKANNYA DENGAN SANGAT
SUSAH PAYAH. ATI MENJERIT KETAKUTAN.
KAKEK (Nafasnya Satu-Satu)
Apa-apaan nih? Haus darah apa?
BOPENG
Dari tadi, dia cari fasal saja.
PINCANG
O, apa aku harus menutup mulutku
terus? Mengapa setiap ucapanku kauanggap sebagai cari fasal saja?
KAKEK
Sudah, sudah. Mana nasi rames
itu?
ATI MENYERAHKAN BUNGKUSAN.
BOPENG
Mana yang dua orang lagi?
PINCANG
Biasa, dinas.
BOPENG
Dinas? Dalam hujan selebat tadi?
PINCANG
Hidung belang ada di setiap
musim.
BOPENG TERDIAM.
TAMPAK IA LETIH BENAR. DIA DUDUK DI BETON DEKAT PILAR JEMBATAN. ATI TAMPAK
RAGU-RAGU, TAPI KEMUDIAN DIAPUN DUDUK, DEKAT BOPENG. PINCANG DAN KAKEK DENGAN
LAHAPNYA MAKAN DARI BUNGKUSAN NASI RAMES.
KAKEK (Sangat Bernafsu)
Ha, ada telor.
PINCANG (Idem)
Dan daging rendang! Rupa-rupanya
pukulanmu hari ini besar juga.
BOPENG(Lesu)
Tak ada pukulan apa-apa, selain
bahwa aku telah dapat persekotku.
KAKEK (Bersama Pincang, Kaget)
Persekot?!
BOPENG (Acuh Tak Acuh)
Ya, persekot.
KAKEK (Mendekati Bopeng)
Jadi, akhirnya kau diterima juga?
BOPENG
Ya.
KAKEK
Berarti, kau segera akan
meninggalkan kami?
BOPENG TUNDUK, TAK MENJAWAB
ATI
Apa sih artinya ini semua?
Diterima gimana, dan siapa yang akan pergi?
PINCANG
Ah, jadi kau sendiripun belum
diceritakannya apa-apa?
ATI
Aku tak diberitahu apa-apa.
ATI MELIHAT KESAL KEARAH BOPENG
KAKEK (Menunjuk Bopeng)
Dia ini tadi diterima sebagai
kelasi kapal. Sudah lama dia melamar, tapi baru hari ini rupanya berhasil. Dan
tadi, dia menerima persekot. Artinya, sebagian pembayaran dimuka. Itu lazim di
kapal. Dan (Menelan Ludahnya) dari
uang persekotnya itu, dibelikannya kami rames-rames ini. (Hampir Menangis) Jelaskah sudah soalnya bagi kau?
KAKEK
BERDIRI TERHUYUNG-HUYUNG. NASI RAMESNYA TAK DAPAT DIMAKANNYA TERUS.
KERONGKONGANNYA SERASA TERSUMBAT. DIBUNGKUSNYA KEMBALI NASI ITU, LALU PERGI
MENJAUH KESEBELAH YANG LEBIH GELAPAN DARI KOLONG JEMBATAN.
BOPENG
Ini rokoknya, Kek.
KAKEK HANYA MENGGELENG SAJA.
ATI
Bawalah aku, Kak!
BOPENG
Kemana?
ATI
Terserah Kakak. Pokoknya, jadi
juga aku berlayar.
BOPENG
Pekerjaan kelasi kapal tidak
mungkin berteman wanita. Jangankan kemana-mana, naik kekapal saja kau tidak
boleh.
ATI
Sembunyikan aku dalam bilikmu.
BOPENG (Menggeleng-Gelengkan
Kepalanya)
Orang yang dalam hidupnya telah
sekian lama menjadi manusia gelandangan seperti aku ini, taklah semudah itu
menginginkan kembalinya ia kedunia gelandangannya itu apabila ia sekali telah
sempat berhasil meninggalkannya. Kau tak tahu, apa artinya gelandangan.
ATI (Menangis)
Aku tahu. Dan aku memang tak mau
tahu. Aku hanya tahu, aku masih muda, dan bahwa akupun berhak juga akan sedikit
cinta… dan sejemput bahagia.
ATI TERISAK-ISAK. MENANGIS. HENING.
SESEKALI KEDENGARAN DERU LALU LINTAS LEWAT DI ATAS JEMBATAN.
PINCANG
Sedikit cinta, sejemput bahagia…
kesempatan untuk mengejar itu semua, setidaknya tidaklah di kolong jembatan
ini, Dik.
ATI(Bernafsu)
Kata siapa aku datang untuk itu
kemari?
PINCANG (Mengerti)
Ah, jadi kalau sekiranya aku
disuruh menyimpulkannya kini, maka Adik kemari ini hanyalah sekedar untuk
menumpang bermalam untuk satu malam ini saja? Lalu, bagaimana besok?
BOPENG
Kuperingatkan kau sekali lagi,
jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung.
PINCANG TEGAK DENGAN SIKAP MENGANCAM DI HADAPAN
BOPENG.
PINCANG
Kalau maksudmu, bahwa gara-gara
ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo
berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk
kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan
dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu
sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang
dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa
yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia
ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan
harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu
yang dapat kau lakukan terhadapnya.
BOPENG
TERPESONA, DAN KAGUM, ATAS LAKU YANG TAK DIDUGANYA DARI PINCANG INI. IA
TERDIAM, DAN TERUS SAJA DUDUK DI TEMPATNYA.
PINCANG (Pada Ati)
Barangkali ada baiknya, bila
akulah yang menceritakannya kepada Adik. Dia telah terima uang persekotnya
tadi. Berarti, dia segera bakal berlayar, mungkin sudah besok. Bukankah begitu?
(Ia Berpaling Pada Bopeng. Bopeng
Mengangguk) Nah, besok! Besok kita akan pamitan dari dia, mungkin untuk
selama-lamanya tak bertemu lagi. Sehabis pamitan, dia menuju kelaut lepas, kami
ini kembali kemari lagi, dan sisahlah lagi pertanyaan yang sangat penting
artinya bagi Adik, bagi kita semuanya: Bagaimana dengan Adik sendiri?
HENING. HANYA KEDENGARAN ATI TERSISAK-ISAK.
ATI
Aku mau ikut berlayar.
PINCANG
Tidak mungkin, sudah Adik dengar
sendiri tadi dari dia.
ATI TERSEDU-SEDU.
PINCANG
Apakah Adik tak bisa berbuat
apa-apa sedikit dengan rasa harga diri Adik yang luber itu, dan tidak begitu
keberatan terhadap usul saya, agar sebaiknya Adik pulang saja kesaudara Adik di
kampung?
ATI (Menghapus Airmatanya)
Kalaulah aku boleh bertanya:
Abang sendiri, ya kalian semuanya yang di sini, mengapa kalian tak pulang saja
kekampung kalian?
PINCANG TERDIAM. LAMA IA BERTUKAR
PANDANGAN DENGAN BOPENG.
BOPENG (Merenung)
Yah, mengapa kita sendiri tak
pulang saja kekampung kita masing-masing?
ADEGAN IV
TERDENGAR
BUNYI LONCENG BECAK. MASUK INA, SENDIRIAN, MENENTENG BUNGKUSAN. IA TAMPAKNYA
GIRANG.
PINCANG
Hai, Ina.
BOPENG
Mana Ani?
INA
Kak Ani takkan datang kemari
lagi. Dia telah bernasib baik. Babah gemuk yang selamanya ini jadi
langganannya, tadi di Seksi Polisi berkata, bakal mengawini Kak Ani. Dan Kak
Ani setuju.
BOPENG
Lho, kenapa di Seksi Polisi?
INA
MENYERAHKAN BUNGKUSANNYA KEPADA KAKEK YANG MUNCUL DARI TEMPATNYA YANG GELAP.
INA KINI MELIHAT ATI.
INA
Ah, ada penghuni baru? Seperti
tahu saja, Kak Ani tak pulang lagi kemari. (Pada
Bopeng) Punya Abang?
PINCANG
Dia tamu semalam kita di sini.
Besok dia kembali kekampungnya.
INA
Sowan nih? Pada siapa? (Melihat Terus Pada Bopeng)
KAKEK (Memeriksa Bungkusannya)
Nasi rames lagi! Dan daging
rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja sesisir! Ada-ada saja si
Ani!
INA
Kak Ani cuma mau penuhi janjinya
saja pada kalian.
KAKEK
MENGAMBIL BUNGKUSAN NASI RAMESNYA YANG TAK HABIS TADI DARI POJOK.
KAKEK
Nih, tadi juga sudah nasi rames.
Juga rendang, telor…
INA (Heran)
Dari siapa?
PINCANG (Menunjuk Pada Bopeng)
Dia kawul tadi. Besok dia
berlayar.
INA (Terkejut)
Berlayar? Jadi, Abang telah
diterima?
BOPENG MENGANGGUK. INA MEMELUKNYA GIRANG.
INA
Aku sangat gembira, Bang. Untuk
Abang, untuk kita semuanya. Besok benar-benar Abang berlayar?
BOPENG
Kalau tak ada halangan apa-apa
lagi. Sebelum tengah hari besok, aku sudah harus di kapal. Sore-sore, berlayar.
INA (Masih Girang)
Kemana, Bang?
KAKEK
Adakah pertanyaan itu masih
penting lagi sekarang? Pokoknya, berlayar! Pergi, jauh-jauh dari sini. Tiap
tempat lainnya, pastilah lebih baik dari kolong jembatan kita ini.
BOPENG
Coba teruskan dulu ceritamu
tentang Ani tadi.
INA
Oh, ya. Tapi, mengapa tak ada
kalian yang tampaknya mau memakan oleh-oleh dari Kak Ani ini?
KAKEK (Tertawa)
Entah apa rencananya Dewa-Dewa
dengan mengirimkan dua kali dalam semalam ini makanan dari jenis yang sekian
tahun belakangan ini memimpikannyapun kita, sebagai orang gelandangan, tak
berani. Tiba-tiba, malam ini, bintang-bintang di langit, dan rupanya juga roh
nenek moyang kita, ingin berseloro dengan kita. Dan sekedar untuk melengkapkan
unsur bergurau itu pada pengalaman aneh kita malam ini, selera kita sedikitpun
tidak terangsang! Sebab, berkah besar ini secara kontan harus kita bayar dengan
berita akan berlayarnya dia (MELIHAT PADA BOPENG) besok sudah, dan dengan
berita lainnya tentang Ani yang tak bakal kemari-kemari lagi. Perasaanku
pribadi, entah bagaimana kalian, adalah persis seperti aku beroleh makanan
enak-enak dulu sebelum aku digiring ke tiang gantungan.
BOPENG (Tertawa)
Ah, Kakek ada-ada saja. Apa ya
separah itu?
KAKEK
Kelengangan disebabkan
perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian sendiri. Mengapa pula kita,
manusia-manusia gelandangan, berbuat seolah tak mengerti hal itu?
LENGANG. HANYA SUARA HALILINTAR
DI ATAS JEMBATAN SESEKALI KEDENGARAN
INA (Duduk)
Sekeluar kami berdua tadi dari
sini, kebetul;an bang becak, kenalan kami selama ini, lewat.
PINCANG (Menyeringai)
Hmm, kebetulan. Sudah tentu dia
sudah sejak lama menantikan kalian.
BOPENG (Pada Pincang)
He, mengapa kamu ngos-ngosan
begitu?
PINCANG
Apa kau tak tahu, bahwa mereka
dengan bang becak itu selama ini membentuk suatu usaha, namanya “Becak
Komplit”?
KAKEK
Seingatku, di restoran yang
besaran dikit, kita bisa pesan apa yang disebut “Biefstuk Komplit”.
BOPENG
Baru-baru ini ada ditulis di
koran tentang “Patriot Komplit”.
KAKEK (Geli)
Semuanya makin serba komplit,
tapi rasanya kok seperti makin serba kurang saja!
BOPENG
Becak komplit itu apa?
PINCANG
Becak, komplit dengan wanitanya,
untuk plesir. Malah, bang becaknya telah komplit mengatur dimana tempat
plesirnya, sewanya, ongkos angkutannya, dst, dst. Pokoknya, selesai semuanya,
sang tamu membayar biaya komplit.
KAKEK
Seingatku – dari masaku dulu sebagai
kelasi – pembayaran serupa itu namanya “all in”. Semuanya sudah termasuk: ya
ongkos hotelnya, ya ongkos makan-makan dan mabuk-mabuknya, ya ongkos plesirnya
dengan wanitanya, ya ongkos taksi besok paginya yang harus mengantarkan kita
pulang kekapal di pelabuhan – tidak terlambat!
BOPENG
Siapa yang menerima semua
pembayaran itu?
PINCANG
Kan sudah dikatakan tadi, bang
becaknya. Saham dia yang terbesar. Oleh sebab itu, dia yang menentukan berapa
yang boleh diterima siwanita.
BOPENG
Adil nggak dia?
PINCANG
Bergantung bagaimana bang
becaknya. Tapi, jangan lupa, kadang-kadang dagangannya tak laku. Walaupun dia
sudah putar-putar kayu beberapa kali. Dalam hal yang demikian, bang becak
sering beri pinjaman pada siwanita. Kalau dia sendiri tak punya, nah melarat.
BOPENG
Itu lumrah.
PINCANG
Tapi, ada kukenal bang becak yang
jadi kaya raya dengan usaha seperti itu. Dia punya hubungan sekaligus dengan
sepuluh sampai duapuluh wanita. Dan dia punya hubungan rapat dengan
pelayan-pelayan hotel. Dia jadi semacam loveransir plosiran. Dia sudah punya
mobil, dirikan rumah gedung di kampungnya, malah baru-baru ini mendirikan lagi
sebuah yang mentereng di kota ini. Kabarnya, bulan depan dia bakal naik haji.
ATI
Wah, dari uang lendir.
PINCANG
Dari uang lendir atau bukan,
pokoknya dia bisa naik haji. Pulang dia nanti dari sana, dia berhak pakai
sorban – kalau dia mau. Nah, haji sungguhankah dia, atau tidak?
ATI
Jijik, ah.
PINCANG
Jijik atau tidak jijik, najis
atau tidak najis, ya lendir atau tidak lendir, dia adalah Haji Anu, titik.
ATI
Apa tidak ada peraturan yang bisa
melarang orang seperti itu pergi ketanah suci?
BOPENG
Kukira, tidak pantas melarang
orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata
urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji.
Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia
terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahal. Mana
yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak
dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti
ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini?
Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak
Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya
oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari
uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan
kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan kejalan. Titik. Demikianlah
aku memandang persoalannya.
KAKEK
Persis pandangan seorang jagal
sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya masih bisa masuk; tapi ini
apa? Daging bukan, lemak bukan, tetelan bukan? Yah, lempar masuk tong sampah.
Tidak ada tempat buat usus, babat…
BOPENG
Ah, kita ini sudah lewat
ngelantur. Ina, bagaimana ceritamu tadi tentang Ani seterusnya?
KAKEK
Hmm, apa masih ada lanjutannya?
Kukira…
INA
Kak Ani tadi rupanya sudah
ditunggu langganannya, itu babah gemuk yang punya pabrik mi.
BOPENG
Langganan?
INA
Ya, sudah hampir tiga bulan
mereka berkenalan dan terus langganan. Babah itu demen betul sama Kak Ani.
Katanya, Kak Ani persis betul menyerupai isterinya almarhumah.
BOPENG
Inna Lillaah!
INA
babh itu sudah lama minta Kak Ani
supaya mau kerja padanya.
BOPENG
Lho, kok kerja?
INA
ya, kerja. Katanya, sekedar
mengurus dia dengan anak-anaknya saja.
BOPENG
Berapa anaknya?
INA
Kalau tak salah, enambelas.
BOPENG
Enambelas? Ampun, mati si Ani!
INA
Dan disamping itu, yah kerja
rumah tangga biasa lainnya.
KAKEK (Menjerit)
Babu Komplit!
PINCANG DAN BOPENG MELEDAK
TERTAWA. INA MELIHAT KESAL PADA MEREKA.
KAKEK
Dan itu namanya: sekedar. Wah,
pintar juga si babah.
PINCANG
Babah-babah biasanya memang
pintar-pintar.
KAKEK
Di koran, ini mah namanya: Eksi…
eksle… apa sih namanya? Pokoknya, di belakang nyusul kata-kata: delomparlom.
BOPENG (Tertawa)
Gitulah, kalau hanya membaca
sobekan-sobekan koran saja. Itupun, yang kebetulan diterbangkan angin saja
kepinggir jalan-jalan, dan sambil lalu kita pungut dan baca. Kek, apa kira-kira
arti kata-kata yang Kakek ucapkan tadi?
KAKEK
Kalau tak salah: Manusia dihisap
manusia.
PINCANG
Jempol!
KAKEK
Eh, jangan anggap enteng seorang
bekas kelasi, ya.
PINCANG (Geli)
calon kelasi gimana?
KAKEK (Melirik Pada Bopeng)
Dia adalah makhluk paling
bahagia.
BOPENG
Teruskan ceritamu, Ina.
KAKEK MEMBUNGKUK ARAH INA, GELI.
INA
Singkatnya: Ketika mereka sedang
eh…
PINCANG (Nyeletuk)
… pelesir…
INA
Ya, eh… di tempat mereka yang
biasa, tiba-tiba ada razzia!
PINCANG, BOPENG, KAKEK (Serempak)
Razzia?!!
INA
Ya, razia oleh polisi. Kami yang
sedang menanti di luar, sempat lari. Kak Ani dan si babah tertangkap basah.
Mereka kami lihat digiring ketruk terbuka, bersama sekian banyaknya lagi,
laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan yang sudah-sudah, kami menduga mereka
tentulah dibawa ke Seksi Polisi. Lalu kami kesana.
BOPENG
Maksud kalian?
INA
Bang becak mau menerangkan pada
polisi, dia adalah suami dari Kak Ani.
BOPENG
Hah? Sejak bila?
INA
Hanya dengan jaminan dari seorang
suami saja, wanita yang kena dirazia begitu bersedia polisi melepaskannya.
BOPENG
Ya, tapi sejak bila bang becak
itu suami si Ani?
INA
Bang becak komplit punya
surat-surat kawinnya.
PINCANG
Itu termasuk servis dalam
perseroan mereka “Becak Komplit” itu.
BOPENG
Aha, suami sekedar buat keadaan
darurat saja!
KAKEK (Menjerit)
Suami razia!!
INA (Tak Menghiraukan
Cemoohan Kakek)
Tapi, kali ini bang becak itu
tidak perlu lagi menawarkan jasa-jasa baiknya. Di depan polisi, si babah
meminang Kak Ani, dan di depan polisi, Kak Ani berkata iya.
BOPENG + PINCANG + KAKEK SERENTAK TERCENGANG.
INA
Dan aku sangat gembira atas
putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia
licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya
mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap!
HENING. SEMUANYA TERKESAN DAN TERHARU.
INA (Menyeka Air Matanya)
Dan aku sendiripun sekarang ingin
menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun… (Terisak) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri.
Aku telah terima lamaran bang becak itu.
PINCANG (Kaget)
Bang becak itu?
INA (Menyeka Air Matanya)
Aku tahu, Abang (Melihat Pada Pincang) sudah lama tidak
menyukai bang becak itu. Tapi Bang, sekiranyalah aku menyerahkan diriku dan
nasibku seterusnya padamu, apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong
jembatan ini?
PINCANG
Kata siapa, aku terus-terusan
akan begini, dan di sini ini?
INA
Abang selama ini telah banyak
bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku
sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata
itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi
ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana
Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek
di samping Abang (Suara Batuk-Batuk Kakek),
melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua
yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling
bahagia di dunia ini.
Tapi, dengan hati yang pedih aku dari hari
kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu bakal tetap tinggal
cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam kejanggalan laku dan
sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat sesuatu. Abang
adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di bumi dari
otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada harapanku
diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang sebagai
seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang telah
menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam
percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong
jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh
pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu
oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu
lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku
Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit…
Dan bila aku tadi menerima lamaran bang
becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti,
bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam
maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian,
kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa dan bagaimana nasib
seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan isterinya
satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak menerima uang
belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang sudah teruk dan
tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu semuanya rela
kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! (Menangis) Kartu penduduk, yang bagiku
berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan
dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita
dengan truk-truk terbuka keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut
sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas
truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran
bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian
kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar
lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku
mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun,
basah kuyup oleh keringat dingin.
KEDENGARAN
LONCENG BECAK BERKALI-KALI. MUKA INA SEKETIKA BERUBAH. IA BERDIRI, DAN
MELEPASKAN PANDANGANNYA PELAN-PELAN KESELURUH PELOSOK DARI KOLONG JEMBATAN.
INA
Barang-barangku kutinggalkan
semuanya di sini. Pakai, bila berguna bagi kalian. Buang, bila tidak. (Lonceng Becak Lagi. Dia Tersedu-Sedu.
Dipeluknya Bopeng) Selamat tinggal, dan selamat belajar, Bang. Semoga… (Ia Tak Dapat Meneruskan) Maafkan, bila
ada kata-kataku dan perbuatan-perbuatanku selama ini yang salah, Bang.
BOPENG (Sangat Terharu,
Dengan Suara Serak)
Akupun demikian terhadapmu, Ina.
INA (Pada Kakek)
Kek! Ah, semoga kita tidak pernah
bertemu lagi.
KAKEK (Tertawa)
Begitu bencinya kau padaku, Ina?
INA MENGGELENG. DIDEKAPNYA KAKEK, MENANGIS
TERSEDU-SEDU.
KAKEK (Serak)
Aku berharap, suatu hari dapat
melihat kau lewat, naik becak suamimu, kau dan anak-anakmu sehat dan
montok-montok. Selamat jalan, Nak.
INA (Tertegun Di Hadapan
Pincang)
Dan kau, Bang. Selamat tinggal.
Aku harap, kau dapat memahami dan memaafkanku.
PINCANG MENGANGGUK-ANGGUK KECIL. IA TAK DAPAT
BERKATA APA-APA).
(KEMBALI BUNYI LONCENG BECAK. TAK SABAR.
KAKEK (Tertawa)
Wah, laki-laki tak sabaran juga
rupanya. (Pada Ina) Lekaslah, Nak.
Nanti suamimu kabur!
INA TERTAWA. KEMUDIAN IA MELIHAT ATI, DAN
DIHAMPIRINYA.
INA
Dan akhirnya, kau Dik! Maafkan,
bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh aku memberi hanya satu nasehat
saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang di sini ini. Kemudian,
pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini. Dik, besok pagi,
pulanglah lempang-lempang kekampungmu. (Dibukanya
Sapu Tangannya) Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk
ongkos pulangmu dan bekal di jalan, cukup jugalah. (Ati Menerimanya) Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau
menghirup iklim gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat lagi
melepaskan dirimu dari lilitan-lilitan guritanya.
BOPENG (Tersadar)
Ya, dan agar benar-benar terjamin
kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang kuminta supaya suka
mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang
tanggung. (Mengambil Uang Dari Sakunya,
Diberinya Pada Si Pincang) Nih, sisa persekotku tadi. (Tertawa) Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak
perlu uang.
LONCENG BECAK LAGI. BERKALI-KALI AGAK KERAS.
INA (Melihat Kearah Datangnya
Bunyi Lonceng Becak)
Selamat tinggal,
Erte-Nol/Erwe-Nol ku… (Matanya
Berlinang-Linang)
INA
LARI MENINGGALKAN KOLONG JEMBATAN, SAMBIL MENGHAPUS-HAPUS AIR MATANYA. TAK
BERAPA LAMA KEMUDIAN, KEDENGARAN LONCENG DARI BECAK YANG BERANGKAT.
ADEGAN V
KEDENGARAN
SESEKALI DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. BUNYI-BUNYI MALAM DARI JANGKRIK,
KODOK, DLL, DI BAWAH JEMBATAN.
ATI (Setelah Lama Hening)
Mengapa Abang ini harus pulang
pergi mengantarkan aku?
KAKEK (Curiga)
Apa maksudmu?
ATI
Eh, apa salahnya dia tinggal
sambil istirahat sebentar di kampungku. Siapa tahu, di sana ada kerja yang
cocok untuknya.
KAKEK (Setelah Menyenggol
Pincang Keras-Keras Dengan Sikunya Di Samping)
Akur! Aku setuju banget, dia
tinggal dulu sekedar istirahat di sana, asal saja orang tuamu setuju di sana,
sudah tentu.
ATI
Kukira orang tuaku setuju di
sana.
KAKEK (Girang)
Hore! Dengan kaki pincangnya,
setidaknya dia masih bisa kerja…
ATI
Di sawah.
BOPENG (Girang)
Horee! Dan eh, siapa tahu,
setelah orang tuamu melihat bakat-bakat petaninya, siapa tahu dia barangkali
juga punya harapan untuk diangkat sebagai… eh, sebagai menantu!
ATI (Merah Mukanya)
Siapa tahu.
PINCANG (Kaget)
Apa? Menantu?
KAKEK (Geli)
Apa ya kau tak punya tenaga
apa-apa lagi untuk menjadi seorang menantu, hah?
PINCANG
Menantu siapa?
KAKEK
Alaa, masih ingat kau kata-kata
Ina tadi untuk kau? Nah, kukira sudah tiba saatnya bagimu kini, terlebih pada
usiamu yang begini, untuk mencamkannya baik-baik. Jangan bingungkan dirimu lebih
lama lagi dalam kerangka-kerangka kata-katamu yang mengawang itu. Mulai
sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan segera ia nongol di hadapanmu.
Berbuatlah! Bertindaklah! Bukankah begitu kata Ina tadi? Jadi, besok pagi,
subuh, kau bersama dia ini kestasiun kereta api. Antar dia baik-baik sampai di
rumah orang tuanya. Selebihnya, mainkanlah perananmu sebaik-baiknya, seperti
yang telah kita goreskan tadi. Kalau kau belum apa-apa bakal ditendang oleh
bakal mertuamu dari sana, maka benar-benar patokkanlah sejak itu dalam
kepalamu: Nasibmu, kawan, untuk selama-lamanya bakal runyam! Dan ini adalah
sebagian besar karena salahmu sendiri. Malaikat-malaikatpun kukira takkan dapat
lagi menolongmu.
PINCANG
NAMPAK BINGUNG OLEH KATA KAKEK TADI. TAMPAKNYA IA INGIN MERONTA, TAPI LAMBAT
LAUN KATA-KATA KAKEK ITU MERESAP JUGA KEDALAM SANUBARINYA.
KAKEK (Setelah Lama Hening)
Kukira, malam ini kita semuanya
terlalu penuh dengan perasaan kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak
mungkin akan dapat tidur. Tapi, baik jugalah bila kita namun bisa istirahat.
Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa
dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. Mari kita
mengumpul tenaga, agar langkah-langkah yang bakal kita ambil besok tidak
terhuyung-huyung, tapi tegap-tegap dan tepat pada tempatnya. (Menguap Panjang) Selamat beristirahat! (Menjentik Bopeng Di Lengannya) Sstt,
biarkan mereka. Kita kesana saja… (Menunjuk
Dengan Wajahnya Kepojok Kolong Jembatan Sebelah Sana)
BOPENG (Mengerti Tertawa)
Oh, ya. Eh, mengapa aku begitu
bodoh.
ATI
MALU-MALU TERSIPU. MALU-MALU KUCING. TIBA-TIBA PINCANG TEGAK LURUS, SIKAPNYA
SEPERTI MAU BERONTAK.
PINCANG
Tunggu dulu! Kalian mau kemana,
hah! Apa maksud-maksud gelap kalian?
BOPENG (Tertawa)
Ah, cuma maksud baik saja.
PINCANG (Berteriak)
Tidak! Aku tidak mau!
KAKEK
Tidak mau apa?
PINCANG
Maksudku, aku tidak mau mulai
dengan cara yang kalian anjurkan tadi secara diam-diam itu. Bila benarlah
nasibku akan menempuh jalan seperti yang kalian reka-reka tadi, entah kalian
sungguh-sungguh tadi entah cuma ingin memperolok-olok aku saja untuk kesekian
kalinya…
BOPENG
Ya Allah! Siapa yang
berolok-olok?
PINCANG (Suaranya Meninggi)
Baik! Bila benarlah kalian
mengkhendaki aku memulai hidup baru, seperti anjuran kalian tadi, demi Tuhan!
Mengapa kalian tak memperbolehkan aku memulainya dengan baik?
KAKEK
Siapa mau menyuruh kau mulai
dengan tidak baik?
PINCANG (Bernafsu)
Kalian! Barusan! Dengan anjuran
kalian yang tidak senonoh tadi!
BOPENG
Tidak senonoh?
PINCANG
Ah, pura-pura lagi. Apa maksud
kalian berdua tadi dengan pindah kepojok sana, dan membiarkan kami berdua di
sini?
BOPENG DAN KAKEK MELONGO
SEBENTAR, KEMUDIAN MELEDAKLAH TAWA MEREKA.
BOPENG
Maaf, maafkanlah kami. Syukur,
kalau kau memang benar-benar mau mulai baik sekarang.
PINCANG
Ya, aku telah bertekad ingin
memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya
kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang
kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang
tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan,
bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak
semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula:
aku benar-benar ingin kerja. Kembali
kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya
matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah
taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah,
hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan
itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur…
setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku
kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang
lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya,
sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak
menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar
kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. (Suaranya Turun, Nafasnya Satu-Satu)
Sudah tentu, sudah tentu… kalian berhak menolak lamaranku…
HENING.
SEMUANYA TERKESAN OLEH KATA-KATA PINCANG. KAKEK DAN BOPENG LAMA TERHARU MELIHAT
PADANYA. KEMUDIAN, TERHUYUNG-HUYUNG, KAKEK MENDEKAT PADA SIPINCANG, KEMUDIAN
DIPELUKNYA. AKHIR SEKALI, ATI MERABA-RABA TANGANNYA. PUN IA TERSEDU, TAPI SEDU
SEDANNYA ADALAH CAMPURAN YANG KHAS DARI KEHARUAN DAN BENIH-BENIH PERTAMA DARI
TUMBUHNYA SUATU RASA KEKAGUMAN DAN CINTA KASIH YANG MURNI… JARI-JARI PINCANG
DIGENGGAMNYA, DAN PELAN-PELAN DICIUMNYA.
SETELAH
ADEGAN HARU DAN KASIH INI LEWAT, KAKEK TAMPAK KEMBALI KETEMPAT NYA SEMULA. IA
KELIHATAN NGANTUK SEKALI.
KAKEK (Menguap Panjang)
Ah, benar-benar ngantuk aku nih.
(Kepada Ati) Begini saja, Nak. Aku
golek-golekan di sini, kau boleh duduk dekatku, eh… menjagai aku.
(ATI DATANG DUDUK DEKAT KAKEK YANG SUDAH MEREBAHKAN
DIRINYA).
KAKEK (Pada Bopeng Dan Pincang)
Dan kalian tak salahnya, jaga
istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur. Ingat, acara kalian besok
sungguh banyak… (Menguap Panjang Lagi)
BOPENG
DAN PINCANG TAMPAK PERGI KEPOJOK SEBELAH SANA DARI KOLONG JEMBATAN, DAN
MEREBAHKAN DIRINYA DI SANA. HANYA ATI SAJA YANG MASIH DUDUK, DEKAT KAKEK.
SUARA-SUARA
MALAM DI KOLONG JEMBATAN, SEPERTI JANGKRIK-JANGKRIK, KODOK-KODOK BERSAHUTAN.
KEDENGARAN AIR SUNGAI DI BAWAH JEMBATAN ITU MENGALIR. DI ATAS JEMBATAN SESEKALI
LALU LINTAS TERDENGAR MENDERA.
ATI
kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek.
KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk)
Aku? Mau kemana aku?
ATI
Ikutlah kami besok kekampungku, Kek.
KAKEK
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk
ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana
dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi?
BOPENG
DAN PINCANG TERDUDUK MENDENGARKAN KATA-KATA KAKEK INI. MEREKA TAMPAKNYA SANGAT
TERKESAN.
ATI
Justru oleh karena hal-hal
itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja
meninggalkannya.
KAKEK
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan
ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik
siapa saja yang datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain
lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya
berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan
cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku.
(KEMBALI MENGUAP) Pada diriku, semuanya
yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai
selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita,
semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna
karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi
kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur
sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat
berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi
kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat malam…
(TAMPAKNYA
ATI MASIH MAU MENJAWAB SESUATU. TAPI BOPENG MENARUH TELUNJUKNYA PADA BIBIRNYA,
ISYARAT AGAR ATI SEBAIKNYA DIAM SAJA SETERUSNYA. ATI MELIHAT SAYU PADA KAKEK
YANG SUDAH TERTIDUR, DENGAN NAFAS BERATURAN. IA MENANGIS. KEMUDIAN
DISELIMUTKANNYA SELENDANG KECILNYA PADA KAKEK. RAMBUT PUTIH KAKEK DIBELAINYA,
SAMBIL MENYEKA AIR MATANYA. DILIHATNYA BOPENG DAN PINCANG TELAH KEMBALI
MEREBAHKAN DIRINYA, TIDUR. PINCANG MALAH MENDENGKUR. ATI TERTAWA GELI.
TAK LAMA KEMUDIAN, ATIPUN
MEREBAHKAN DIRINYA DI SAMPING KAKEK.
TERDENGAR DERU SEBUAH MOBIL LEWAT
DI ATAS JEMBATAN. KEMUDIAN LONCENG BECAK. ATI MEMBALIKKAN TUBUHNYA. DI JAUHAN,
SEEKOR ANJING MENYALAK PANJANG. ATI MENARIK NAFAS PANJANG).
LAYAR
SELESAI
klik di sini untuk download naskah teater selengkapnya
Demikian artikel tentang naskah drama pendek 6 orang lucu semoga bermanfaat
0 Response to "Contoh Naskah Drama Pendek 6 Orang Lucu (Kehidupan Sosial)"
Post a Comment