Tuah Burung Merbuk

Alkisah Rakyat ~ Tersebutlah kisah di zaman dahulukala, daerah Sumatera Timur masih merupakan hutan belukar. Penduduknya jarang tempat tinggalnya masih berpencar- pencar.

Pada suatu kampung, tinggal sepasang suami-isteri. Mereka mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang sulung bernama Ahmad dan anak kedua bernama Muhammad. Mereka tinggal disebuag gubuk tua. Pekerjaan mereka sehari-harinya mengerjakan sebidang tanah yang yang letaknya tidak berapa jauh dari gubuk mereka. Pagi-pagi sekali kedua suami-isteri ini sudah pergi kesawahnya. Anaknya Ahmad dan Muhammad  ikut membantu. Mereka adalah anak-anak yang baik perilakunya, selalu ramah kepada tetangga dan penyayang kepada binatang. Sehingga orang-orang sekampungnya sangat menyayangi mereka. Sudah menjadi kebiasaan buat kedua bersaudara ini, pagi membantu ibu dan ayah disawah dan sore harinya mereka pergi mengaji. Begitulah pekerjaan si Ahmad dan Muhammad setiap hari.


Pada suatu sore, ketika mereka pulang dari mengaji sambil bersenda gurau di jalan, mereka melihat seekor burung Merbuk yang terbang-terbang hingga di hadapan mereka. Ketika si Ahmad dan Muhammad dekat ke burung Merbuk itu, maka burung itu pun terbang lagi tetapi tidaklah terbang jauh. Oleh karena itu,maka timbul di hati keduanya untuk menangkap burung itu. Dan dengan sekejap saja mereka telah berhasil menangkap burung Merbuk itu. Oleh karena gembiranya, Ahmad dan Muhammad berlari-lari menuju rumahnya. Tak berapa lama sampailah mereka di rumah, mereka langsung menemui ayahnya yang sedang duduk-duduk di beranda depan, Ahmad berkata kepada ayahnya.

"Ayah....! Tadi sewaktu Ahmad dan Muhammad pulang dari mengaji, kami mendapat seekor burung Merbuk yang sangat indah. Warna bulunya berkilauan bagaikan keemasan ayah," katanya sambil menunjukkan burung yang baru saja mereka peroleh itu.

"Apakah ayah dapat membuatkan sangkarnya?"

"Bukan ayah tidak bersedia membuatkan sangkarnya, tetapi sekarang ayah sedang banyak pekerjaan yang akan diselesaikan lebih dahulu. Padi kita sudah mulai keluar, yang harus disiapkan tempatnya. Nanti setelah ayah seledai membuat tempat padi, barulah ayah buatkan sangkar burung itu," demikian kata ayahnya si Ahmad dan Muhammad.

"Baiklah ayah," jawab mereka Ahmad dan Muhammad masuk ke rumah untuk menukar pakaian.

Selesai sembahyang Maghrib. Ahmad dan Muhammad mengulangi lagi pelajarannya, demikianlah mereka lakukan setiap malam selesai sembahyang. Sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga Pak Ahmad, pagi-pagi sekali sudah bangun. Dan sesudah makan pagi mereka bersama-sama pergi ke sawah. Si Ahmad dan Muhammad tak lupa membawa burung Merbuk kesayangannya.

Telah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, bahwa pada zaman dahulu kala binatang dapat berbicara sesamany. Dan bahasa binatang itu dapat pula dimengerti oleh manusia. Demikian pula sebaliknya. Karena telah lama burung Merbuk itu dipelihara oleh si Ahmad dan Muhammad, burung itu sudah menjadi jinak sekali. Sehingga tidak lagi diikat oleh si Ahmad. Bahkan burung itu sudah tidak mau lagi terbang jauh. Kemana saja si Ahmad  dan MUhammad pergi, Merbuk itu tetap saja ada bersama mereka. Seolah-olah mereka tak dapat berpisah lagi.

Kita tinggalkan sejenak si Ahmad dan Muhammad bersama burung Merbuknya. Kita beralih kepada kisah seorang orang tua yang tinggal di kampung itu juga, yang kerjanya setiap hari memikat burung Merbuk. Perginya pagi, pulang petang. Karena kerjanya setiap hari adalah memikat burung Merbuk, maka orang-orang di kampung itu menyebutnya dengan panggilan Wak Pawang Berbuk. Pada suatu hari sepulang dari memikat burung Merbuk Wak Pawang sangat lelah. Karena lelahnya, sehabis sembahyang Isya ia pun lalu pergi tidur dengan neyenyaknya.

Di dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan seorang , orang tua yang berpakaian serba putih.Orang tua itu berkata kepada Wak Pawang Merbuk. "Hai Pawang Merbuk! Di kampung ini ada seekor burung Merbuk yang amat bertuah." Wak Pawang Merbuk bertanya, "Kalau boleh saya tahu apakah tuah burung Merbuk itu dan siapa yang empunya?" Adapun tuahnya, yaitu, siapa yang dapat memakan kepalanya, ia akan menjadi Raja dan bagi yang dapat memakan hatinya ia akan menjadi Menteri. Yang punya burung tersebut adalah si Ahmad dan Muhammad. Tempat tinggalnya tak jauh dari sini. Besok, sebelum matahari terbit tinggi, berjalanlah kau ke arah Selatan!" Setelah berkata demikian orang tua itu menghilang.

Uak Pawang Merbuk pun tersentak dari tidurnya. Ia masih ingat akan kata-kata yang baru saja didengarnya dan masih terngiang-ngiang ditelinganya. Ia merasa heran akan mimpinya. "Benarkah mimpiku ini? Kalau begitu besok sebelum matahari terbit aku harus segera meninggalkan rumah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh orang tua tadi, dan mencari di mana pemilik burung Merbuk itu berada," pikirnya. Setelah sembahyang subuh, Uak Pawang Merbuk segera berangkat meninggalkan rumahnya.

Di dalam perjalanan Uak Pawang Merbuk bertanya ke sana -kemari tentang kediaman Ahmad dan Muhammad. Barulah pada  tengah hari ia berjumpa dengan rumah si Ahmad. Sesampainya disana dilihatnya kedua putera Pak Ahmad sedang bermain-main dengan burung Merbuk kesayangan mereka. Lalu didekati Uak Pawang kedua anak itu.

"Assalamualaikum!" ia memberi salam kepada Ahmad dan Muhammad.

"Wa'alaikum salam," jawab Ahmad dan Muhammad.

''Apakah  hajat Uak datang ke gubuk kami?" tanya si Ahmad.

"Kalian yang bernama Ahmad dan Muhammad?" tanya Uak Pawang Merbuk.

"Benar, Uak," jawab Ahmad dan Muhammad serentak.

"Kalau boleh Uak tahu, dimana ayah dan ibumu?" tanyanya.

"Ayah dan Ibu sedang pergi ke ladang, sebentar lagi juga mereka akan pulang. Masuklah dulu Uak ke dalam," Ahmad menyilakan Uak Pawang masuk.

"Aaaa.....! tidak usahlah, Uak di luar saja sambil menunggu ayah dan ibumu pulang. Hai....! Burung siapa ini, Uak lihat jinak sekali. Tidak payah bersangkar lagi," katanya.

"Oh......! Ini yang Uak maksudkan. Ini burung kami Uak. Memang burung ini tak payah pakai sangkar lagi, sudah lama kami pelihara. Dan kami dapat sewaktu kami pulang dari mengaji. Ia terbang-terbang hinggap, dihadapan kami, lalu kami kejar-kejar dan dapat kami tangkap" sahut anak-anak itu.

"Bagaimana kalau burung kalian ini Uak beli, berapa pun harganya aku Uak bayar. Lalu pula, pagi-pagi kan kalian membantu ayah dan ibu di sawah dan sore hari pergi mengaji,'kan payah kalian dibuatnya," kata Uak Pawang itu.

"Maaf saja Uak burung ini tidak kami jual. Ia tidak payah diurus, karena ia sudah jinak. Lagi pula rasanya burung ini sudah seperti saudara kami," demikian jawab si Ahmad dan Muhammad.

Dari kejauhan tampak sepasang suami-isteri sedang berjalan menuju ke rumahnya. Mereka adalah Pak Ahmad dan Ibu Ahmad.

Ahmad dan Muhammad yang sedari tadi asyik bercerita dengan Uak Pawang, tidak mengetahui bahwa ayah dan ibunya sudah sampai di pekarangan rumah. Barulah mereka sadar setelah Ibu dan Ayahnya memberi salam. Lalu Ahmad berkata kepada ayahnya.

"Ayah! Uak ini ingin bertemu dengan Ayah, sudah lama Uak menunggu." Pak Ahmad segera menyalami tamunya dan mempersilakan Uak Pawang masuk. Sesampainya di dalam rumah, maka Pak Ahmad bertanya kepada tamunya.

"Apakah hajat Abang datang ke mari...?" Maka Uak Pawang Merbuk pun mengutarakan maksudnya.
"Begini Pak Ahmad......! hajat saya datang, yang pertama ialah ingin berjalan-jalan menengok-nengok di sekitar tempat ini.

Sebagaimana Pak Ahmad tahu, pekerjaan saya adalah memikat burung. Entah ada barangkali tempat-tempat yang cocok untuk  tempat memikat. Itulah maksud sebenarnya. Lain dari itu, ingin pula saya bertanya. Tadi saya lihat kedua anak Pak Ahmad ada mempunayi burung Merbuk. Nampak-nampaknya burung itu sudah jinak, tidak payah lagi diberi sangkar. Bolehkah barangkali saya beli burung itu? Karena burung itu tidak payah lagi bersangkar, hajat saya hendak saya jadikan pemikat. Disamping itu pun suaranya sangat nyaring dan merdu pula. Kalau Pak Ahmad setuju, biarlah saya beli burung itu, sebutkan saja harganya jangan segan-segan," katanya. Mendengar hajat Uak Pawang hendak membeli burung Merbuk anaknya itu, Pak Ahmad sangat gembira. Kebetulan meeka sedang sangat membutuhkan uang, ditambah lagi persediaan beras pun sudah hampir habis.

Sambil tersenyum, Pak Ahmad menjawab. "ooooh, kalau itu yang Abang maksud baiklah saya tanya dulu kedua anak mitu, karena merekalah yang mempunyainya," lalu Pak Ahmad menyuruh isterinya memanggil Ahmad dan Muhammad Ibu si Ahmad segera pergi memangghil kedua anaknya. 

"Ahmad kalian dipanggil ayah, kemarilah sebentar!" Mendengar panggilan Ibunya Ahmad dan Muhammad segera berlari masuk kerumah.

"Ada apa Bu?" Ahmad bertanya.

"Kalian berdua dipanggil oleh ayahmu. Pergilah segera jumpa di ruang tengah."

Ahmad dan Muhammad segera menjumpai ayahnya yang sedang berbincang-bincang dengan Uak Pawang Merbuk. Ahmad dan Muhammad segera mendekat lalu bertanya.

"Bukankah ayah memanggil kami berdua?"
"Ya, jawab ayahnya.

"Duduklah di sini kalian. Ada yang akan ayah tanyakan." Ahmad dan Muhammad segera mengambil tempat duduk disisi ayahnya.

"Seperti kalian lihat disini ada tamu kita. Mungkin juga Uak ini telah bertanya kepada kalian berdua tentang burung Merbuk itu. Tetapi walaupun begitu, ada baiknya ayah jelaskan lagi. Tadi ayah dan Uak Pawang sudah berbincang-bincang. Adapun maksud Uak ini datang kemari adalah ingin membeli burung Merbuk kalian itu. Apakah kalian mau menjualnya?" Pertanyaan ayahnya itu dijawab keduanya.

"Maafkan kami ayah. Kami tidak bermaksud hendak menjual burung itu. Berapa saja akan dibayar oleh Uak Pawang tidak menarik hati kami. Karena burung itu dapat kami jadikan kawan bermain. Dan lagi tak sampai hati kami berpisah dengannya."

Oleh karena jawaban anak-anaknya itu tidak diduga oleh Pak Ahmad, maka bukan main geramnya ia melihat kedua anaknya itu. Namun demikian tidaklah dilihatkannya kepada tamunya. Setelah kedua anaknya beranjak dari ruangan tempat mereka berbincang-bincang tadi, lalu ayah si Ahmad berkata kepada Uak Pawang Merbuk.

"Bagaimana kalau sehari dua ini Uak Pawang datang lagi? Buarlah nanti kami bujuk agar anak-anak itu berubah maksudnya?"

"Kalau begitu Pak Ahmad, baiklah saya permisi dulu. Nanti dua atau tiga hari ini saya datang lagi."

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, timbul bermacam-macam angan-angan yang tinggi di pkiran Uak Pawang Merbuk. Dalam hati ia berkata, "Alangkah bahagianya kalau aku dapat menjadi Raja yang perkasa dan aku dapat menyunting seorang puteri yang cantik jelita untuk kujadikan permaisuri. Oh...... burung Merbuk bertuah, bagaimana pun kau harus kumiliki." Begitulah kata hati Uak Pawang, sambil ia terus berjalan penuh dengan khayalan menuju rumahnya. Pagi itu udara sangat cerah. Disebelah Timur tampak matahari bersinar terang. Daun-daun kayu yang ditimpa embun berjatuhan  ke bumi. Begitu juga perasaan hati si Ahmad dan Muhammad pagi itu.

Sebagaimana biasa selesai minum pagi, Ahmad dan Muhammad berkemas-kemas hendak pergi ke ladang membantu ayahnya, sambul mengumpulkan alat-alat keperluan di ladang. Ahmad memanggil adiknya.

"Muhammad! Jangan lupa bawa burung kita itu."

"Baik Bang," jawab Muhammad

"Dan lagi jangan lupa bawa makanan yang sudah dibungkus mak,"sambil menunjukkan bungkusan yang terletak di atas meja kecil.

Mendengar percakapan kedua anaknya, Ibu Ahmad segera menedekat. Kemudian bertanya kepada anak-anaknya.

"Masih belum berangkat kalian rupanya."

"Belum bu! Sedang mengumpulkan barang-barang yang akan dibawa," jawab keduanya singkat. Ibu Ahmad berkata lagi.

"Ibu pikir hari ini tak usahlah burung itu dibawa ke sawah.

"Kenapa bu.....?" tanya si Ahmad

"Ibu takut nanti diambil orang pula burung itu di jalan atau mungkin lewat pula Uak Pawang semalam, dan ditangkapnya. Kan lebih baik kalian tinggalkan saja di rumah. Dan lagi pula menyulitkan kalian untuk membantu ayahmu. Kalian harus hati-hati menjaga burung-burung yang akan memakan padi kita," kata ibunya.

"Baiklah bu.....," jawab keduanya.

Kedua anak laki-laki itu segera minta izin  kepada ibunya untuk berangkat ke sawah. Burung kesayangannya mereka hari itu ditinggalkan di rumah.

Sepeninggal si Ahmad dan Muhammad, Ibu Ahmad berpikir menyusun rencana yang akan dilakukannya terhadap burung kesayangan anak-anaknya itu. Burung Merbuk kepunyaan anak tersebut segera ditangkapanya. Dalam hati ia berkata sendiri. 

"Kalau burung ini kujual sesudah kumasak tentu harganya lebih mahal daripada dijual hidup-hidup." Tiada berapa lama maka disembelihlah burung Merbuk kesayangan anaknya itu. Terus dipanggangnya. Sesudah masak lalu panggang burung Merbuk itu diletakkannya di atas perapian. Setelah itu si Ahmad pun melakukan pekerjaan rumah lainnya.

Dalam perjalanan pulang Ahmad berkata kepada adiknya, "Abang meresa tidak enak perasaan. Apakah ada sesuatu yang akan terjadi di rumah dengan ibu kita," katanya.

"Entahlah Bang," jawab si Muhammad. "Akupun mempunyai perasaan yang sama seperti seolah-olah terjadi sesuatu di rumah kita, aku selalu teringat kepada burung Merbuk kita."

"Kalau begitu marilah kita cepat berjalan agar kita  cepat sampai di rumah," kata abangnya.

Tak lama, sampailah mereka di rumah. Dilihatnya ibunya sedang mencuci piring di perigi. Lalu kedua anak-anak itu menjumpai ibunya sambil bertanya.

"Bu, di mana ibu simpan burung kami? Ahmad dan Muhammad akan bermain-main dengannya. Setelah hari tak jumpa, rasanya sudah macam setahun." Ibunya segera menoleh dan dengan wajah yang dibuat-buat sedih, ia berkata.

"Anak-anakku, memang nasib tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kau dan adikmu tak dapat bermain lebih lama lagi dengan burungmu itu. Sewaktu ibu tadi pergi keluar, ibu lihat burung kesayanganmu sedang bermain, dan sewaktu itu masuk lagi ibu lihat burung itu sudah digigit kucing. lalu ibu kejar kucing itu. Dijatuhkannya burung itu, tetapi sudah hampir mati. Daripada terbuang, ibu potong dan sudah ibu panggang." Mendengar penjelasan ibunya, kedua putera Pak Ahmad hampir saja jatuh pingsan. Mereka tidak dapat menahan tangis. Hari yang begitu cerah berubah jadi kelabu bagi mereka. Ibunya segera membujuk dan menyuruh puteranya bertukar pakaian. Ahmad dan Muhammad segera masuk ke kamar bertukar pakaian. Sementara itu ibunya meneruskan pekerjaannya.

Sewaktu mereka bertukar pakaian, tiba-tiba timbul niat hati Ahmad dan Muhammad untuk melihat panggang burung Merbuk tadi. Keduanya terus pergi ke dapur. Setelah terlihat oleh mereka, maka berkatalah si Ahmad kepada adiknya.

"Lebih baik kita makan saja panggang burung ini. Ingin sekali aku melihatnya. "Maka ketika itu juga oleh si Ahmad diambilnya kepala burung itu lalu dimakannya. Sedangkan si Muhammad mengambil hatinya, lalu dimakannya juga.

Setelah mereka memakan burung itu, keduanyapun pergi bermain-main di halaman rumah. Tiada berapa lama, dari dalam rumah terdengar suara ibunya memanggil kedua anaknya. Si Ahmad dan MUhammad pun berlari masuk ke dalam rumah, sambil mendekati ibunya.

"Ada apa bu....?" tanya mereka berdua.

"Siapa yang memakan kepala dan hati burng yang ibu panggang tadi?" tanya ibunya.

"Kami bu," jawab ai Ahmad dan Muhammad. "Saya memakan kepala dan adik memakan hatinya," kata Ahmad menjelaskan.    

"Kenapa kalian memakan kepala dan hatinya, tidak memakan dagingnya. Kepala dan hatinya patut dimakan oleh ayahmu," sambil berkata demikian ibunya menjewer telinga keduanya. Diiringi dengan umpatan-umpatan karena marahnya.

"Percuma ayah dan ibu membanting tulang di sawah untuk memberi makan kalian," kata ibunya.

Karena dimarahi oleh ibunya, dan dijewer telinganya, maka keduanya menangis. Ibunya pun pergi meninggalkan mereka.

Sejurus kemudian, pulanglah Pak Ahmad dari swah. Dilihatnya kedua anak-anaknya duduk termenung di beranda depan. Pak Ahmad terus masuk ke dalam rumah dan menemui isterinya yang sedang melipat-lipat kain cucian. Pak Ahmad segera bertanya .

"Bu.....kenapa anak-anak kita itu....? Kelihatannya murung," katanya.

Ibu Ahmad lalu menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar cerita isterinya timbul pula marah Pak Ahmad. Kemudian Pak Ahmad memanggil kedua puteranya. dengan marah yang meluap-luap tanpa usul periksa lagi, langsung bPak Ahmad mengusir kedua anaknya itu.

Si Ahmad dan Muhammad menangis dan bersujud di kaki ayahnya memohon ampun. Namun Pak Ahmad tetap pada keputusannya, mengusir mereka pergi dari rumah ini. Oleh karena ayahnya tidak dapat mengampunkan mereka, maka pada tengah malam si Ahmad dan Mjuhammad dengan diam-diam meninggalkan rumah. Mereka tidak membawa apa-apa, selain pakaian saja. Keduanya berjalan menurutkan langkah. Mereka baru berhenti ketika sudah merasa lelah. Setelah lelahnya hilang, mereka kembali meneruskan perjalanannya lagi. Begiru sehari hari. Mereka memakan-makanan yang terdapat di dalam hutan seperti umbi-umbian, pucuk daun kayu. Begitulah kedua abang beradik itu terlunta-lunta di dalam hutan, sehingga tak terasa oleh mereka, bahwa mereka telah berbulan-bulan lamanya di dalam hutan itu.

Pada suau hari menjelang senja, keduanya berhenti di buah pohon kayu yang rimbun. Mereka sangat lelah, haus dan lapar. Berkatalah si Ahmad kepada adiknya Muhammad.

"Malam ini kita bermalam saja disini, besok sesudah matahari terbit kita berjalan lagi. Oleh karena di sini banyak jejak-jejak binatang buas, ada baiknya kau tidur di atas pohon ini. Ikatkan badanmu ke pohon itu, supaya jangan jatuh," kata Ahmad kepada adiknya.

"Aku, biarlah tidur di bawah pohon ini sambil berjaga-jaga."

Si Muhammad tidak membantah. Ia pun terus memanjat pohon itu. Diikatkannya badannya ke batang pohon. Karena letihnya, ia pun tertidur neyenyaknya. Demikian juga si Ahmad ia pun segera tertidur. Kita tinggalkan dahulu si Ahmad dan Muhammad yang tidur dengan nyenyaknya. Kita beralih kepada sebuah Negeri. Negri ini diperintah oleh seorang raja yang sudah tua. Raja itu tidak mempunyai anak laki-laki, Raja hanya mempunyai dua orang anak perempuan. Menurut adat, anak perempuan tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya. Oleh sebab itu Raja berpendapat, harus segera dicari penggantinya mengingat usia Raja yang sudah amat tua.

Pada suatu hari, berkatalah Raja kepada Perdana Menteri. "Wahai, Perdana Menteri. Beta sudah tua dan selalu sakit-sakitan.Pengganti beta belum ada. Menurut adat di kerajaan ini anak peremuan tidak boleh menjadi raja. Oleh sebab itu, beta berharap agar dipukul tabuh larangan. Himpunlah rakyat sekalian beta ingin menyampaikan sesuatu kepada mereka," sabda Baginda Raja. Tanpa usul periksa lagi, Perdana Menteri pun memukul tabuh larangan. Tiada berapa lama, maka berdatanglah rakyat negeri itu ke istana raja. Raja melihat  rakyatnya telah berkumpul. Rajapun berkata.

"Wahai, rakyat beta sekalian, beta sudah tua, selalu sakit-sakitan. Beta tidak mempunyai anak laki-laki yang dapat menggantikan beta. Pada hari ini beta bermaksud melepas Gajah Putih, untuk mencari pengganti beta," katanya. Beta minta agar Perdana Menteri dan dua orang pembantu pergi mengikuti gajah putih. Siapa saja yang disembah oleh gajah putih nanti, maka orang itulah yang akan menggantikan beta menjadi Raja di negeri ini. Segeralah orang itu bawa kemari."

Setelah raja selesai memberikan amanatnya, Perdana Menteri bersiap- siap untuk pergi. Makanan dan minuman dipersiapkan, lalu Perdana Menteri meminta izin kepada raja.    Berangkatlah Perdana Menteri bersama dua orang pembantunya. Mereka mengikuti gajah putih dari belakang. Masuk hutan keluar hutan, begitulah pekerjaan mereka. Apabila lelah, mereka beristirahat sebentar. Setelah lelah hilang mereka meneruskan perjalanan lagi. Dengan tak terasa, rupanya mereka sudah lama sekali berjalan. Pada tengah malam, sampailah gajah putih di tengah-tengah hutan. Begitu ia sampai di bawah sebatang pohon, gajah putih merebahkan diri bersujud.

Perdana Menteri berlari mendekatu gajah putih. Terlihat oleh datuk Perdana Menteri seorang pemuda sedang tertidur dibawah pohon kayu. Tak ayal lagi, terus diangkatnya pemuda yang tertidur tadi. Dinaikkannya keatas punggung gajah, gajah pun dituntunnya menuju pulang, sedankan pemuda itu masih tetap tertidur dengan nyenyaknya. Tiada berapa lama berselang, sampailah Perdana Menteri di pinggiran negeri. Melihat gajah putih sudah pulang, maka rakyatpun berduyun-duyun datang ke istana. Raja pun turun dari istana menyongsong kedatangan gajah putih. Di pintu gerbang gajah putih merebahkan diri.Dan raja pun menurunkan pemuda yang masih tertidur itu. Ketika pemuda itu menjejak-jejak tanah, iapun tersentak. Ia terkejut dan tercengang, tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Ia menurut saja. Raja membawa pemuda itu ke istana, pakaiannya segera diganti. Kini pemuda itu terlihat gagah lagi tampan. Semua orang yang melihatnya terpesona, terlebih-lebih anak dara. Mereka menuju kegagahan anak muda itu.

Pemuda tersebut segera dituntun raja masuk ke dalam balai sidang. Semua orang telah berkumpul untuk mendengar titah raja. Pemuda itu didudukkan oleh raja di sebelah kananya. Dan disebelah kiri raja, duduk permaisuri. Raja mengumumkan, bahwa sejak hari itu, orang muda yang duduk bersamanya akan ditunjuk sebagai pengganti raja. Selesai raja mengumumkan penggantinya, raja pun meninggalkan balai sidang. Sejak itu pemuda tersebut tinggal bersama keluarga raja Pemuda kita itu tiada lain, ialah si Ahmad. Ia ditemani oleh gajah putih ketika ia sedang nyenyak di bawah sebatang pohon kayu. Sedangkan adiknya si Muhammad, tidur diatas pohon kayu itu juga.

Ketika hari sudah siang terbangunlah si Muhammad. Ia memanggil-manggil abangnya, tetapi tiada mendapat sahutan. Ia kembali memanggil, namun tiada juga mendapat sahutan. Si Muhammad pun turun ke bawah, dilihatnya di sekitar pohon kayu itu banyak sekali jejak binatang. Ia menduga bahwa abangnya telah dimakan binatang buas, ia pun menangis; meratapi nasib abangnya dan meratapi nasibnya sendiri yang kini sudah hidup sebatang kara ditengah-tengah hutan pula. Kaena dukanya, ia pun berjalan menurut kan kaki tanpa tujuan. Ia terlunta-lunta seorang diri didalam hutan yang lebat itu. Karena lelahnya, ia pun berhenti di bawah sebatang pohon, sambil memakan tumbuh-tumbuhan hutan. Ketika ia asyik dengan lamunannya, terdengar olehnya ada suara burung yang sedang berkelahi diatas  pohon itu. Ia pun mengalihkan pandangannya ke atas pohon itu. Dilihatnya dua ekor burung rajawali sedang memperebutkan sebuah ranting kayu, keduanya saling cakar mencakar. Akhirnya ranting kayu yang diperebutkan tadi jatuh ke bawah dekat si Muhammad duduk.

Setelah ranting itu jatuh, maka kedua burung rajwali berhenti berkelahi. Masing-masing hinggap ke dahan kayu. Salah seekor berkata.

"Nah, sekarang ranting itu telah jatuh. Jatuhnya kedekat seorang manusia pula. Kalau tadi engkau tidak berkeras ingin merebutnya dari aku, tentu ranting masih berada padaku," katanya.

Rajawali yang satu lagi berkata, "Sebenarnya apa gunanya ranting itu bagimu. Kalau engkau menginginkan ranting, 'kan masih banyak lagi ranting di sini." Dijawab oleh rajawali yang penasaran itu.

"Itulah, mana engkau tahu bahwa ranting yang jatuh itu tidak sama dengan ranting-ranting yang lain. Ranting yang satu itu, ranting bertuah, ranting keramat. Ia dapat memberi kita apa saja. Disamping itu, ia dapat pula mengantarkan kita ke tempat yang jauh dengan sekejap mata," Setelah burung rajawali itu mengucapkan kekesalan hatinya, maka iapun terbang meninggalkan kawannya. Kawannya pun tiada berapa lama terbang pula.

Kedua ekor burung rajawali itu telah meninggalkan pohon kayu itu. Si Muhammad yang dari tadi mendengarkan percakapan kedua burung rajawali itu, menajdi tertarik hatinya. "Benarkah apa yang dikatakan burung rajawali itu?" Maka ia pun mengambil ranting itu. Sungguh tidak diduga oleh si Muhammad, dengan seketika telah terhidang makanan yang lezat-lezat. Karena perutnya sudah lapar, maka si Muhammad menyantap makanan tadi. Setelah ia merasa kenyang, maka terkenang pula ia kepada abangnya. Dijampi lagi  ranting kayu itu. "Wahai ranting kayu yang bertuah lagi keramat, kau antarkanlah aku kepada abangku. Aku tidak tahu dimana ia berada. Entahkan mati, entahkan hidup. Aku minta engkau dapat menolong aku berjumpa kembali dengan abangku," ujarnya.

Dengar takdir. Yang Maha Kuasa, si Muhammad dengan tiba-tiba sudah dalam sebuah taman bunga. Taman bunga ini sangat indahnya, ditanami dengan bunga-bunga beranaeka warna. Ketika si Muhammad sampai di dalam taman. Puteri  Bungsu sedang bermain-main di taman itu. Melihat kedatangan si Muhamma di taman itu, maka menjeritlah puteri Bungsu. Mendengar jeritan Puteri Bungsu, berdatangang para pengawal istana Si Muhammad ditangkap, lalu dimasukkan ke dalam penjara bersama ranting kayunya. Si Muhammad tidak dapat berbuat apa-apa, selain menurutkan kehendak pengawal-pengawal itu. Tuan Puteri Bungsu pun melaporkan kepada ayahandanya tentang kedatangan seorang pemuda tampan ke dalam taman tadi. Ia belum pernah melihat seorang pemuda setampan si Muhammad. Tetapi, ia tidak menunjukkan kekagumannya itu kepada ayahandanya.

Keesokan harinya, raja menyuruh panggil tawaanan itu. Ia dijaga ketat oleh pengawal Raja bertanya.
"Hai anak muda. Siapa namamu, dari mana kau datang, kenapa berani memasuki taman larangan kami?"

Muhammad menundukkan kepala sambil berkata, "Ampun tuanku, hamba tiada menyangka kalau taman itu adalah taman larangan. Hamba datang dari jauh. Hamba tidak ingat lagi asal tempat hamba itu. Yang hamba ingat, bahwa hamba terlunta-lunta di dalam hutan bersama saudara hamba. Bertahun - tahun kami terlunta di dalam hutan itu. Dan pada suatu malam, terjadilah malapetaka menimpa kami. Pada malam itu hamba tidur di atas pohon kayu, abang tidur di bawah. Ketika hari sudah pagi, hamba terbangun. Hamba panggil abang hamba, tetapi tiada menyahut. lalu hamba turun ke bawah abang hamba lihat banyak sekali jejak binatang. Hamba menduga bahwa abang hamba itu sudah dimakan binatang buas. Sejak itu hamba berkelana seorang diri di dalam hutan. Hingga akhirnya hamba terdampar ke dalam taman bunga dibawa oleh ranting kayu. Kedatangan hamba  kemari, ialah hendak mencari abang hamba yang hilang itu. Hamba yakin abang hamba itu berada di dalam kerajaan Tuanku ini."

Mendengar tutur Muhammad, raja pun bertanya kepada si Ahmad. 

"Wahai, anakanda Ahmad. Bagaimana pendapat anakanda dengan tutur anak muda ini. Adakah mengandung kebenaran ataukah tipu muslihat semua?" Ahmad agak ragu-ragu. Lalu ia mengusulkan kepada raja agar untuk sementara waktu pemuda itu ditahan saja. Usul si Ahmad dibenarkan raja, lalu Muhammad dibawa kembali ke dalam penjara.

Semenjak si Muhammad ditahan di dalam penjara, Puteri Bungsu selalu datang menjenguknya secara diam-diam. Kedatangan Puteri Bungsu ke penjara tiada orang yang tahu, kecuali pembantunya yaitu mak Inang. Tiap ia datang di penjara diusahakannya agar si Muhammad tidak mengetahuinya. Pada suatu hari ketika datang lagi ke penjara dilihatnya si Muhammad sedang duduk. Di hadapanMuhammad terhidang makanan yang lezat. Puteri Bungsu menjadi heran. "Siapakah gerangan yang telah memberi makanan kepada anak muda ini?" pikir Puteri Bungsu. Ia tambah heran lagi ketika dengan tiba-tiba saja ruangan penjara menjadi terang. Cahaya yang menerangi ruangan penjara itu kelihatannya datang dari arah tempat duduk si Muhammad. Begitu juga keadaan si Muhammad, ia kelihatannya gagah sekali. Pakaiannya seperti pakaian orang-orang besar.

Oleh karena sudah lama Puteri Bungsu berada disitu, maka ia pun beranjak meninggalkan penjara dengan sangat hati-hati agaar tidak ada orang yang mengetahuinya. Begitulah setiap malam kerja Tuan Puteri. Kalau hari sudah gelap dan penghuni istana sudah mulai tidur, maka Puteri Bungsu dengan mengendap-endap berkunjung ke penjara. Walaupun kedatangannya ke penjara itu sekedar ingin menatap wajah si Muhammad. Sebenarnya MUhammad mengetahui bahwa Puteri Bungsu selalu datang ke tempat itu. Ia bersikap seolah-olah berada seorang diri. 

Sekali-kali ia berkata kepada dirinya, "Oh....sungguh malang nasibku ini.bang tercinta belum diketahui hidup matinya. Diri sendiri berada pula dlama penjara," keluhnya. Keluhannya itu terdengar oleh Tuan Puteri, bertambah kasihanlah Puteri Bungsu kepada si Muhammad. Bayangan si MUhammad sudah melekat di pelupuk mata Puteri Bungsu, sehingga ia tak dapat tidur neyenayk. Puteri Bungsu sudah dihinggapi penyakit rindu. Begitulah keadaan Puteri Bungsu. Bila hari malam, ia datang ke penjara dan setelah letih pulang ke dalam biliknya, sambil termanung mengenang anak muda.

Oleh karena hampir tiap malam Puteri Bungsu datang ke penjara, maka suatu malam ia terpergok dengan seorang pengawal yang sedang ronda. Melihat ada orang yang mendekati penjara, si pengawal berusaha  mengenalinya. Alangkah terkejutnya si pengawal, ia pun segera meninggalkan penjara melaporkan kepada Perdana Menteri, apa yang dilihatnya. Perdana Meneteri tidak heran mendengar laporan pengawal, karena ia sendiri pun sudah pernah melihat Tuan Puteri datang ke penjara itu, tetapi hal itu dipendamkanya saja. Perdana Menteri maklum, jika Tuan Puteri sampai tergila-gila kepada si Muhammad yang tampan. Dalam hati Perdana Menteri, ia tidak keberatan Tuan Puteri berjodoh dengan si Muhammad, asalkan saja usul-usulnya sudah jelas. Oleh karena rahasia pribadi Tuan Puteri sudah diketahui pengawal dan sudah pula disampaikan kepada Perdana Menteri, maka tiada jalan lain harus segera disampaikan kepada raja. Perdana Menteri menganjurkan kepada raja, agar diadakan pemeriksaan ulang atas diri Muhammad.

Di dalam balai sidang sudah banyak yang hadir. Si Muhammad dibawa masuk ke dalam balai sidang. Ia duduk dengan sopan, sambuil menekurkan kepalanya, ia tiada bergerak-gerak. Tak berapa lama kemudian, masuklah Raja ke dalam balai sidang. Raja mulai memeriksa si Muhammad. Kembali Raja bertanya tentang asl-usul Muhammad, tiada tertinggal tentang masuk Muhammad ke dalam taman. Dengan sopan dan lancar, Muhammad menerangkan kembali asal-usulnya. Demikian juga sampai ia bertemu dengan dua ekor burung yang sedang berkelahi. tentang kesaktian ranting kayu itupun, tidak lupa Muhammad menceritakannya.

Dalam pemeriksaan itu tampak hadir si Ahmad. Muhammad yakin, bahwa yang di sebelah Raja itu adalah abangnya, Ahmad. Sedang si Ahmad tidak lagi menandai adiknya. Karena kini mereka sudah menjadi pemuda yang gagah. Lagi pula mereka berpisah di dalam hutan sudah terlalu lama. Tetapi, sewaktu si Muhammad menceritakan bahwa ia dan abangnya pernah memakan kepala burung dan hati burung Merbuk yang telah menimbulkan amarah kedua orang tuanya, maka si Ahmad pun mulai sadar akan dirinya. Maka iapun ikut pula bertanya kepada si Muhammad.

"Benarkah saudara pernah mempunyai seorang saudara yang hilang di dalam hutan? Dan benarkah saudara pernah memakan hati burung Merbuk?" tanyanya.

Si Muhammad tidak ragu-ragu, lalu menjawab, bahwa keterangannya itu adalah benar, bukanlah keterangan yang dibuat-buat. Setelah Ahmad yakin bahwa pemuda yang dihadapannya ini adiknya, maka ia pun turun dari tempat duduknya dan terus datang kehadapan si Muhammad seraya memeluknya. Ia menangis tersedu-sedu sambil membelai dengan kasihnya. Semua yang hadir turut bersedih bercampur gembira, karena adik dari calon raja mereka telah ditemukan.ama juga mereka berdua saling berpelukan.

Melihat keadaan kedua bersaudara itu, raja lalu berkata kepada si Ahmad.

"Wahai anakku Ahmad, sudahlah! Jika memang benar pemuda yang bernama Muhammad ini adalah saudaramu, maka bawalah ia masuk ke dalam bilik. Biarlah dia beristirahat. Bila nanti ia sudah merasa segar kembali, baru kita bertanya lebih lanjut dengannya. "Si Ahmad membawa adiknya masuk ke dalam bilik.

Keesokan harinya setelah makan pagi, raja memanggil si Ahmad dan Muhammad. Raja menyampaikan maksudnya hendak mengundurkan diri dan pemerintahan. Juga dengan Perdana Menteri, karena mereka sudah terlalu tua dan selalu sakit-sakitan. Disamping itu, Raja juga mengutarakan niatnya untuk menyatukan mereka berdua dengan Puteri-puterinya. Engkau Ahmad, kujodohkan dengan anakanda Puteri Sulung, dan engkau Muhammad kujodohkan dengan anakanda Puteri Bungsu. Sesudah perkawinan kalian nanti berlangsung, ayahanda dan Perdana Menteri akan mengundurkan diri. kalian berdualah yang meneruskan memimpin kerajaan ini," titah Baginda.

Selesai berkata begitu, Raja pun memanggil Datuk Bendahara untuk membuat persiapan persalatan. Segala keperluan perayaan perkawinan pun dipersiapakan.Pesta besar itu berlangsung  selama dua pekan. Rakyat bergembira, siang dan malam keramaian terus berlangsung. Ahmad dan Muhammad hidup bahagia, rukun dan damai dengan isterinya. Mereka saling kasih mengasihi. 

Sumber: Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara

0 Response to "Tuah Burung Merbuk"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel