Kisah Beru Ginting Pase
Alkisah Rakyat ~ Dahulu kala tersebutlah sebuah cerita yang bernama Si Beru Ginting Pase anak marga Ginting Pase. Ayahnya dua bersaudara, keduanya laki-laki. Ayahnya raja besar di negeri Urung Gadung Simole. Dialah yang mendirikan negeri itu. Ketika Beru Ginting Pase lahir kepadanya diberi nama Si Mberu Medanak yang berarti si kecil mungil. Ayahnya di samping sebagai raja juga penjudi besar. Maka di dirikannyalah di negerinya itu tempat perjudian kemudian di undangnyalah penjudi ulung ke seluruh Tanah Karo bahkan sampai negeri Toba di Simalungun. Ramailah perjudian di negeri Urung Gadung Simole. Raja Urung Gadung Simole menang terus-menerus.
Akan Beru Ginting Pase yang bernama Si Mberu Medanak bertambah dewasa. Tingkah lakunya sopan. Ia sangat pintar dapat menerka bayi dalam kandungan apakah perempuan atau laki-laki. Ia juga dapat meramalkan apakah perahu di laut tenggelam atau tidak, tahu berapa orang tamu yang akan datang. Parasnya cantik, kulitnya kuning seperti daun Ndulpak kena sinar matahari pagi, tubuhnya semampai seperti cabe Pane, batang tidak terlalu besar dahan tidak terlalu kecil, cabang tidak terlalu banyak, buahnya tidak terlalu besar. Jari-jarinya seperti anak ikan emas yang berenang. Lengang-lenggoknya seperti daun serai.
Oleh karena ayahnya selalu menang berjudi, pakciknya tidak senang melihatnya karena ayahnya tidak pernah memberikan hasil kemenangannya itu kepada saudaranya, bahkan meminjam pun tidak dikasihnya. Oleh karena itu timbullah niat jahat pakciknya untuk mencuri abangnya. Beru Ginting Pase yang bernama Mberu Medanak yang terkenal pintar itu dapat menebak pikiran jahat pakciknya. Oleh karena itu pada suatu hari berkatalah ia kepada ibu-bapaknya.
"Ayah, ibu jagalah makananmu baik-baik karena saya rasa pakcik tidak senang melihat ayah selalu menang dalam perjudian, sehingga banyak harta ayah, banyak pula senjata ayah. Kalaupun ayah kalah dalam perjudian tidak menjadi soal bagiku asalkan ayah tetap sehat-sehat sehingga tidak kusut pikirannya," katanya.
"Bagaimana ku buat anakku, kalau aku senang menang, kekalahanpun yang kuharapkan tetapi kemenangan yang kuperoleh," jawab ayahnya.
"Ini bakal datang yang tidak baik dari pakcik saya khawatir kalau-kalau ayah akan terkena pula nanti," kata anaknya.
"Mudah-mudahan jangan anakku," kata ayahnya. Tapi ternyata ayah dan ibunya mati kena racun pakciknya. Maka menangislah Beru Ginting Pase dengan tiada henti-hentinya.
Dipanggil oranglah pakciknya. Setelah pakciknya sampai berkumpullah semua anak negeri memperbincangkan bila raja akan dikubur. Diputuskanlah, raja akan dikubur pada keesokan harinya. Berkatalah Beru Ginting Pase kepada pakciknya.
"Pada upacara penguburan ayah dan ibuku, aku ingin agar dipalu gendang dan ditembakkan meriam karena banyak harta dan senjata ditinggalkannya. Bahkan hasil kemenangannya berjudipun masih banyak," kata Beru Ginting Pase.
"Semua penguburan ayah dan ibuku menjadi tanggung jawabku, akulah yang akan melaksanakannya," kata pakciknya. Sampai kepada keesokan harinya gendang dan meriam tidak juga berbunyi. Maka menangislah Beru Ginting Pase. lalu ia berkata kepada pakciknya.
"Pakcik, kalau gendang tidak ada meriam sajalah ditembakkan untuk menghormati arwah ayah dan ibuku peristirahatannya yang terakhir," katanya. Meriam pun tidak berbunyi karena semuanya telah diangkat oleh pakciknya ke rumahnya. Beru Ginting Pase menangis terus. Akhirnya dikuburkanlah ayah dan ibunya tanpa ada suara gendang ataupun meriam yang mengiringinya ke kuburan. Anak negeri pun bertanya-tanya sesamanya kenapa raja dikubur tanpa upacara. Tapi mereka tidak ada yang berani buka mulut kepada pakciknya karena dialah yang akan memerintah di negeri Urung Gadung Simole menggantikan abangnya. Setelah selesai ayah dan ibunya dikubur, dibawalah Beru Ginting Pase ke rumah pakciknya. Semua harta peninggalan ayah nya telah diambil oleh pakciknya. Setelah beberapa hari Beru Ginting Pase berada di rumah pakciknya ia minta diri hendak kembali ke rumahnya tapi dilarang oleh pakciknya.
"Jangan engkau memberi aku malu," katanya. Maka Beru Ginting Pase pun tinggallah di rumah pakciknya setelah kematian ayah dan ibunya. Setelah sepuluh hari ayah dan ibunya meninggal tetapi ibunya dan pakciknya belum mengijinkan bekerja. Tetapi pada hari yang kesebelas berkatalah istri pakciknya kepadanya.
"Pergilah engkau mencari kayu api, anakku kayu api kita sudah habis. Setelah membawa kayu api, baru boleh makan," katanya. Setelah sore berkata pulalah istri pakciknya itu kepadanya.
"Pergilah, engkau menumbuk padi ke lesung, anakku, beras kita sudah habis. Siap pula padi ditumbuk baru boleh makan."
Begitulah ia diperlakukan setiap hari. Akhirnya makanan pun yang basi-basi yang diberikan kepadanya, itu pun hanya sedikit. Menangis pun Beru Ginting Pase tidak berani. Kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya jatuh air matanya.
"Jangan menangis, jangan engkau memberi aku malu," kata istri pakciknya.
Pada suatu hari pakciknya memanggil ke rumah suami bibi Beru Ginting Pase. Lalu berkatalah pakciknya.
"Kita besok pergi ke Kahe (sekarang Medan), anakku, menjumpai bibimu karena pada waktu ayah dan ibumu meninggal ia tidak datang. Kita pergi bersama-sama bibimu ini." Menangislah Beru Ginting Pase, karena ia mengetahui rencana pakciknya.
"Pakcikku rupanya mau menjual aku ke Kahe," pikirnya. Karena ia tahu tidak ada yang akan didatangi karena ia tidak mempunyai bibi.
"Bagaimana, sudah banyak padi kau tumbuk?" kata pakciknya kepada istrinya.
"Kami mau mendatangi iparmu bersama Beru Ginting Pase."
"Berapa banyak rupanya yang diperlukan?" kata istrinya.
"Lima tumba seorang pun sudah cukup," katanya.
"Sudah ada," kata istrinya. Keesokan harinya berangkatlah mereka bertiga. Dibawanyalah beras masing-masing lima tumba seorang.
Pakaian Beru Ginting Pase pun dibawanya secukupnya. Setelah beberapa bulan dalam perjalanan sampailah mereka di tepi laut Similing-iling. Berhentilah mereka di sana Beru Ginting Pase bersama suami bibinya itu beristirahat, pakciknya terus pergi mencari pembeli Beru Ginting Pase. Setelah pembeli ditemukannya maka dibawanyalah ke tempat Beru Ginting Pase menunggu.
Diperkenalkannyalah Beru Ginting Pase yang hendak dijualnya itu. Berkatalah pembeli itu kepada Beru Ginting Pase.
"Maaf, dik, jangan marah, coba ngangakan mulutmu, lalu julurkan lidahmu," maka dingangakannyalah mulutnya dan dijulurkannya pulalah lidahnya. Setelah selesai diperiksa oleh pembeli itu maka katanya pula.
"Coba kulihat retak tanganmu." Setelah retak tangannya selesai dilihatnya lalu katanya pula.
"Maaf, dik, jangan marah," Dibukanyalah baju Beru Ginting Pase dari belakang. Setelah selesai diperiksanya badan Beru Ginting Pase lalu dikembalikannyalah baju Beru Ginting Pase. Kemudian ia pun duduk dan berbicara kepada pakcik Beru Ginting Pase, katanya.
"Begini saudaraku, kalau adik ini yang hendak saudara jual, saya tidak mau membelinya. Setelah saya periksa retak tangan dan bentuk mulutnya, sepantasnya dialah yang menjual saudara, oleh karena itu saya tak berani membelinya, carilah pembeli yang lain. Setelah selesai mengucapkan perkataannya itu ia pun minta diri lalu pergi meninggalkan mereka bertiga. Terdiamlah pakcik Beru Ginting Pase. Lalu ia pun pergi pula mencari pembeli berikutnya dengan harapan mudah-mudahan masih ada yang mau. Sampai sore pembeli tak kunjung dapat.
Akhirnya pergilah ke sebuah pondok di tepi laut Similing-iling. "Boleh kami menumpang di sini semalam saudara?' katanya kepada pemilik pondok itu
"Boleh saudara, kata pemilik pondok itu. Maka menginaplah mereka di pondok itu.
Pada keesokan harinya pergi pulalah pakciknya mencari pembeli Beru Ginting Pase. Oleh karena ramalan pembeli-pembeli yang pertama itu sudah meluas maka tak ada lagi orang yang berani membelinya. Karena dikatakannya ia anak sakti, sangat bijak, tahu jenis kelamin bayi dalam kandungan tahu jumlah tamu yang bakal datang, mengetahui pula perahu di laut apakah tenggelam atau tidak. Walaupun begitu pakcik Beru Ginting Pase masih terus mencari pembeli kalau-kalau ada orang yang berani membeli.
Sudah berbulan-bulan mereka tinggal di negeri itu, namun pembeli tak kunjung dijumpai. Akhirnya karena pembeli tak juga kunjung datang maka dicarinyalah satu tempat untuk tempat Beru Ginting Pase.
Lalu ditanyalah yang empunya gubuk tadi kalau-kalau Beru Ginting Pase boleh tinggal di situ.
"Saya senang dia tinggal di sini, tetapi bukan untukku," kata empunya gubuk. Maka berkatalah pakciknya kepada Beru Ginting Pase.
"Disinilah engkau dahulu, anakku, menunggu bibimu datang karena ia sudah kupanggil."
"Baik pak," kata Beru Ginting Pase. Beru Ginting Pase dapat menerka isi hati orang. Dia tahu bahwa bibinya itu tidak akan datang karena dia tidak pernah mempunyai bibi.
"Kami akan pulang besok anakku, jangan engkau sedih. Uang untuk belanjamu akan kutinggalkan agar jangan susah orang tempatmu menumpang ini, walaupun engkau tinggal di sini," kata pakciknya.
Maka keesokan harinya pulanglah ia. Ditinggalkannyalah uang belanja bagi Beru Ginting Pase 10,-. Beru Ginting Pase pun diam seribu bahasa, dia sedih memikirkan nasibnya ditinggalkan di tempat di mana bahasa orang pun tidak dimengerti olehnya. Maka dicobanyalah bernyanyi. Diceritakannyalah kesedihannya ditinggalkan oleh ayah-ibunya di negeri Urung Gadung Simole sampai ia diantarkan oleh pakciknya ke tempat yang bahasa orang yang tinggal di situ dia tidak mengerti. Lamalah dia bernayanyi suaranya bagus pula. Tapi orang yang mendengar tidak mengerti bahasanya.
Akhirnya ia pun menangis, tiada henti-hentinya ia menangis sehingga banyaklah orang datang melihat dia menangis itu. Adalah seorang tua, dibujuknya Beru Ginting Pase supaya berhenti menangis.
"Diamlah engkau anakku, jangan lagi engkau menangis," katanya. Dibukanya bajunya lalu dihapusnya air mata Beru Ginting Pase. Berhentilah ia menangis lalu bercakap-cakaplah ia dengan orang tua itu; kadang-kadang dia mengerti cakap perempuan itu kadang - kadang tidak.
Maka datanglah pemuda marga Sembiring berjalan-jalan ke tepi laut Similin-iling. Marga Sembiring, orang yang kalau kalah berjudi, sial bukan kepalang, utang sebanyak bulu di badan. Nasibnya sungguh malang, selalu kalah dalam perjudian. Sekali bertaruhlah ia, diikatkannya kain merah di puncak pohon mayang. Lalu ia bertaruh. Lawannya bertaruh mengatakan, "Ular" dia mengatakan, "Tidak," karena dia yang mengikatkan kain itu.
Banyak lawannya bertaruh, orang - orang yang melihat dia menambatkan kain itu ke atas, melihat kepadanya. Maka disuruhlah orang memanjat pohon itu untuk melihat apa sebetulnya yang diatas itu. Sampai di atas dibukannyalah kain itu lalu katanya.
"Kain," "Mana pula mungkir ular kalau kain yang kukaitkan tadi ke atas," pikir marga Sembiring.
"Kalau memang kain lemparkanlah ke bawah,: kata lawan marga Sembiring. Sampai dibawah kain itu menjalar seperti ular.
Menangislah marga Sembiring di bawah.
"Ke manalah pergi hai nyawaku, ayah, ibu, kain tadi yang kukaitkan, ular sampai di bawah, orang pun kalah gara-gara aku yang bwrnasib malang," katanya.
"Jangan engkau menangis, sial kita bersama itu," kata kawan-kawannya.
Begitulah kemalangan yang menimpa marga Sembiring.
Marga Sembiring mendengar berita bahwa ada seorang gadis dari tanah Karo di tepi laut Similing-iling itu. Timbullah niatnya untuk berkenalan dengan gadis itu.
"Barang kali aksn hilang kesedihanku kalau aku bercakap-cakap dengan gadis itu," pikirnya. Maka ia pun pergi ke tempat Beru Ginting Pase.
"Kenapa siapakah aku minta izin bibi karena aku berniat bertutur dengan gadis itu," kata marga Sembiring.
"Aku di sini tempatnya menumpang; kalau engkau berniat baik silakan brkenalan dengannya," kata orang tempat Beru Ginting Pase menumpang maka ditegurnyalah Beru Ginring Pase.
"Bagaimana Dik, apakah engkau bersedijh berkenalan denganku?," katanya
"Kenapa tidak Bang?" kata Beru Ginting Pase.
"Apa margamu Bang?" kata Beru Ginting Pase
"Bukan be gitu Dik, akulah yang menanyakan margamu terlebih dahulu, karena adat memang begitu sejak dari dahulu ditanah karo," kata Sembiring.
"Apa margamu Dik, siapa ibumu dan di mana kampung orang tuanmu?"
"Beru Ginting Pase namaku, si Mberu Medanak, kampung orang tua di Urung Gadung Simole. Marga Abang apa, siapa ibumu dan dimana kampung orang tuamu?" kata Beru Ginting Pase.
"Margaku Sembiring, Dik, ibuku Beru Ginting, kampung orang tua di Seberaya. Kalau engkau mau Dik, kita menikah."
"Harta kita sudah banyak kapal pun sudah ada, tentara pun sudah banyak budak pun sudah cukup, apakah ada cita-citamu yang belum sampai, coba kau ceritakan kepadaku," katanya Beru Ginting Pase tidak menyahut, ia pun menangis, menangis sejadi-jadinya. Marga Sembiring pun terdiam tidak meneruskan pertanyaannya. Harta mereka teeus bertambah. Akhirnya bertanya pulalah marga Sembiring kepada isterinya.
"Apa sebetulnya yang engkau kehendaki wahai isteriku tercinta, coba cweritakan kepadaku," isterinya trus menangis pula tidak mau berbicara.
"Ceritakanlah sayang, apa yang engkau kehendaki?"
"Kalau kuceritakan apa yang kukehendaki mesti sampai kalau tidak aku bunuh diri.," katanya sambil menangis. Maka diceritakannyalah bagaimana ia menderita setelah ayah ibunya meninggal. Pada waktu ayah dan ibunya meningal niatnya tidak sampai. Oleh karena itu ia ingin kembali ke kampung halamannya hendak menjenguk kuburan orang tuanya itu. Katanya kepada suaminya.
"Aku ingin pulang ke negeri Urung Gadung Simole menjenguk kuburan orang tuaku."
"Besok kita berangkat," kata marga Sembiring.
Keesokan harinya dikumpulkannyalah semua prajuritnya dan budak-budaknya berikut semua hartanya. Berangkatlah mereka ke negeri Urung Gadung Simole. Di tengah perjalanan Beru Ginting Pase menceritakan semua perbuatan jahat pakciknya itu kepada suaminya. Lalu katanya.
"Jika kita nanti sudah sampai di negeri Urung Gadung Simole engkau jagalah aku, karena aku sangat sedih mengenang perlakuan ibu dan pakcikku dahulu, aku diperlakukan mereka dengan kejam, aku diberi nasi basi. Perintahkan tentara kita mengepung negeri itu, jangan biarkan siapapun keluar," katanya.
Akhirnya sampailah mereka di negeri Urung Gadung Simole. Semua anak negeri terkejut melihat negeri mereka telah dikepung oleh tentara Beru Ginting Pase. Sampailah berita kedatangan Beru Ginting Pase bersama prajurit kepada pakciknya. Ibu dan pakciknya tidak berani lagi menampakkan diri. Pergilah Beru Ginting Pase bersama suaminya diiringkan oleh tentaranya ke rumah pakciknya. Pakciknya sudah bersembunyi di atas rumah dan ibunya bersembunyi dibawah rumah. Maka ditanya Beru Ginting Pase lah penghuni rumah.
"Dimana ibu dan pakcikku?," katanya.
"Kami tak tahu," kata mereka. Maka dibakar Beru Ginting Pase lah cabe di dapur. Bersinlah pakciknya di atas rumah, batuklah ibunya di bawah rumah.
"Mari ibu, mari pakcik," katanya. Maka datanglah ibu dan pakciknya memeluk Beru Ginting Pase.
"Maafkan kami anakku," Apapun yang kami perbuat dahulu kepadamu harap dimaafkan," katanya sambuil menangis.
"Baik Bu," kata Beru Ganting Pase. Terus diperintahkannya tentaranya menangkap ibu dan pakciknya. Prajurit diperintahkan menggali lubang, satu di depan pintu masuk dan satu lagi di depan pintu keluar. Ditawanlah pakciknya di lubang pintu keluar dan ibunya di lubang pintu masuk. Maka masuklah seluruh prajuritbeserta budak-budak Beru Ginting Pase diiringkan oleh marga Sembiring dan Beru Ginting Pase memijak kepala ibunya.
Setelah semuanya berada di rumah maka keluar pualah semuanya melalui pintu keluar dengan memijak kepala pakciknya. Akhirnya matilah keduanya. Mayatnya ditanam oleh prajurit. Tersiarlah berita ke seluruh Tanah Karo tentang raja negeri Urung Gadung Simole dibunuh oleh tentara Beru Ginting Pase, karena perbuatannya yang tidak baik terhadap anak saudaranya yaitu Beru Ginting Pase yang bernama Si Mberu Medanak. mOleh karena itu semua marga Ginting Pase tidak berani lagi memakai marganya, maka ditukarnyalah marganya dengan Ginting lain. Marga Sembiring terus mengundang semua keluarganya ke negeri Seberaya. Maka berpestalah mereka, memalu gendang dan membunyikan meriam di kuburan orang tua Beru Ginting Pase.
Karena niat Beru Ginting Pase dahulu untuk mengiringi orang tuanya dengan gendang dan meriam tidak terkabul, maka sudah agak terhiburlah hati Beru Ginting Pase, Marga Sembiring bertanya pada isterinya sekali lagi.
"Masih adakah keinginanmu yang belum tercapai?' katanya.
"Keinginanku sudah terkabul, engkau pun kalau ada niatmu penuhilah," kata Beru Ginting Pase kepada suaminya.
"Kalau begitu aku hendak berpesta, karena pada waktu kita kawin dahulu di tepi laut Similing-iling penuh dengan kesedihan tanpa berpesta. Kumpullah semua marga Ginting agar kubayar mas kawin kepada mereka secara adat Karo," katanya.
Maka diundanglah semua marga Ginting, disembelilah lembu beberapa ekor, dipalulah gendang lima hari lima malam lamanya. Menarilah mereka semua. Setelah kedua belah pihak puas menari lalu dibicarakanlah mas kawin. Maka berbicaralah semua marga Ginting Suka yang mendirikan kampung Suka. Ginting Babo yang mendirikan kampung Munte, Ginting rumah Mbuah Page yang mendirikan kampung Surbakti., Ginting Jandi Bata yang mendirikan kampung Kidupen, Ginting Guru Tambun yang mendirikan kampung Lau Kapur, Ginting Guru Patih yang mendirikan kampung Buluh Pancur, Ginting Sigaramata yang mendirikan kampung Toba, Ginting Sugihan yang mendirikan kampung Sugihan.
Dalam pembicaraan itu diputuskanlah mas kawin Beru Ginting Pase sebanyak sepuluh rupiah. Mas kawin itu dibagi-bagikan ke delapan marga Ginting itu. Setelah menerima mas kawin itu kembalilah marga Ginting ke kampung masing-masing. Sejak itu marga Sembiringlah yang berkuasa di negrri Urung Gadung Simole. Negeri ini dahulu didirikan oleh marga Ginting Pase. Kata marga Sembiring.
"Mulai hari ini semua orang yang datang ke mari harus takluk kepadaku oleh karena kesalahan marga Ginting Pase terhadap isteriku Beru Ginting Pase yang bernama Si Mberu Medanak. Maka kujadikanlah kampung ini Arih Nembah (harus menyembah). Semua marga Ginting yang ada di kampung ini harus takluk tapi marga Ginting Pase harus dibunuh, yang lain diampuni. Sejak itu kampung Urung Gadung Simole yang didirikan oleh marga Ginting Pase jatuh ke tangan marga Sembiring. Namun kampung itu pun ditukar menjadi Arih Nembah. Sekarang berubah menjadi Sarinembuh. Itulah sebabnya maka marga Ginting Pase lenyap.
0 Response to "Kisah Beru Ginting Pase"
Post a Comment