Cerita Asal Usul Padi Pulut
Alkisah Rakyat ~ Dimasa yang telah silam, tersebutlah sebuah negeri yang terbilang besar dan ramai, yang bernama Negeri Sicike-cike. Dikawasan itu dahulunya, dikenal oranglah sebagai datu (duku) yang sakti. Kesaktiannya kesohor kemana-mana. Dia terkenal sampai ke Barus dan ke seluruh Tanah Batak. Dana negeri-negeri yang kita sebut ini telah semua dikunjungi dan dijelajahinya.
Bukanlah maksud untuk bertanding ataupun menunjukkan keperkasaannya, semata-mata hanyalah untuk menambah ilmua serta memperbanyak pengalamannya. Tak ada terselip di hati sanubarinya kesombingan dan tiada pula dikenalnya hasut dan dengki. Padahal ilmunya cukup tinggi dan bermutu. Bukanlah suatu khayalan, jika kita sebut bahwa dukun tersebut dengan mudah dapat menerbangkan lesung. Menyuruh tungku menari-nari, serta dapat menanam tumbuhan kembali alu yang sudah dipakai bertahun-tahun. Jika waktu diperlukan dapat saja dia memanggil binatang buruan rusa dan kijang untuk disembelih menjadi gulai orang bepesta. Dan tak usah takjub jika dia memancing dalam belanga dalam waktu singkat belanga telah penuh dengan ikan-ikan yang segar. Dan jika orang sakit, yang mendadak meninggal dapat pula dijampainya dan hidup kembali. Tangkal segala penyakit dan berbisa ada padanya. Demikian untuk membodohkan binatang buas dan ganas adalah sesuatu yang sangat mudah baginya. Dia juga bisa membikin supaya orang tunduk dan gentar. Dan dapat mengendalikan hati seorang gadis jelita lagi muda belia terhadap seorang laki-laki tua yang buruk muka lagi pikun. Jadi tentang seluk - beluk kedukunan, di zamannya dianya telah dapat diandalkan. Namun begitu banyak negeri yang dilaluinya, tidak pernah terdengar bahwa dia telah pernah berbuat yang tidak diingini karena ilmunya dan keahliannya.
Demikianlah menurut penuturan orang tua-tua, bahwa mendirikan negeri di sekitar itu banyak juga dijumpai sumber-sumber air yang jernih dan bersih. Di tengah bukit itu tumbuh pula sebatang pohon yang demikianlah umumnya dilaksanakan upacara, ramuan dan peralatan. Disediakannyalah kemenyan. Dan diserunyalah segala yang sakit-sakit dan yang mulia-mulia penduduk alam gaib disekitar kawasan tersebut. Seketika mendunglah awan di langit, pertanda bahwa serun mantera sedang didengarkan oleh penghuni alam gaib. Diambilmyalah pisau pusaka, dolobanginya tanah sedalam satu hasta. Diambilnya tanah sekepal diletakkan di atas bakul. Kemudian sang dukun berseru selanjutnya.
"Wahai khalik yang menciptakan bumi dan langit serta segala isinya, kami ingin mendirikan negeri di atas bukitmu yang agung ini, berilah kami perkabaran suka, yang kami bersukaria dan beranak pinak turun temurun." Dan didengarkannyalah ke dslam mulut lobang yang dibuatnya tadi. Saat itu terdengarlah suara genderang bertalu-talu, ayam berkokok bersahut-sahutan, lembu dan kerbau melangkuh dan menguak. Dan suara sorak- sorai manusia tertawa riang. Selanjutnya suara yang bergema penuh wibawa pun kedengara.
"Wahai dukun sakti yang piawai, benarlah engkau guru besar yang bermoral tinggi. Ketahuilah bahwa negeri ini suatu negeri yang paling ramai. Tempat berhimpun nantinya oleh desa-desa sekitarnya. Engkau telah mendengar tadi akan bayangan keramaiannya di masa nanti. Tapi ingatlah setelah nanti sampai di puncak kejayaannya, beribu rumah adat berdiri dengan megahnya cukup ramai penduduknya tua-muda, besar-kecil, laki-laki- perempuan dengan kehidupan makmur dan sejahtera, mereka akan lupa daratan, lipa kacang di kulitnya. Engkau sendiri yang mendirikan negeri ini akan dilupakan sama sekali, hanya sedikit orang yang masih berbudi mulia. Jika pohon-pohon telah berlumut, dan batang-batang tua telah meranggas, orang-orang pun menjadi sombong. Benci kepada yang sakit dan yang lemah. Tak perduli sama anak yatim-piatu serta orang melarat," demikian kata suara itu. Saat itu berdirilah datu sakti sambuil menarik dan menghela nafas panjang-panjang. Sekembalinya ke rumah datu itu pun dikerumungi oleh penduduk desanya.
"Bagaimana Pak, pekabaran tentang mendirikan negeri tersebut," demikian tanya mereka.
"Wahai hadirin, bahwa telah kujumpai pohon Simarnik, adalah perlambang menaik segala usaha. Dan telah kurasai tepung tanah dan enak rasanya pertanda akan kemakmuran dan kesejahteraan. Dan telah saya dengar suara kandungan bumi bahwa perkampungan kita akan membawa berkat membawa penduduknya akan kemakmuran. Tapi....", akhirnya tak mereka dengar lagi. Bersorak-sorailah mereka, tidak mereka dengarkan lagi akhir pembicaraan dari seorang datu. Dan saat itu mereka itu mengerumuni penganan yang mereka sediakan karena mereka membuat acara pesta kecil-kecilan.
Pendek cerita, mulailah penduduk berpindah dari desa-desa sekitar itu. Benarlah mereka itu merasa puas. Ternak berkembang biak, hasil padi pun berlimpah-limpah. Mereka pun mendirikan kandang-kandang ternak yang besar-besar. Serta menyediakan padang rumput yang luas. Dan dalam waktu singkat telah berderet rumah adat yang besar-besar, serta rumah balai yang megah-megah. Rumah adat yang megah yang biasanya dihiasi tanduk kerbau, melambangkan ketabahan, kegagahan dan kesentosaan, dilengkapi pula dengan anjungan tempat dipingit puteri-puteri jelita kesayangan.
Rumah-rumah bale yang besar tempat-tempat putera tersayang berhimun dan bermusyawarah. Dan di tempat ini pula raja jejakan melatih diri agar trampil memainkan alat-alat musik Pakpak tardisional, genderang, kalondang, ketuk, gerantung, mbotul dan pompong. da lagi yang bernama sordan, tartoa, lobat, sulim dan sarune. Bagaimana membuat sendok, membuat tampah dan bakul. Dan disini pulalah melatih diri untuk mempelajari tari yang lemah gemulai.
Demikian Sicike-cike menjadi negeri yang ramai. Yang sehari-harinya kelihatan penduduknya makin bertamba-tambah. Dan setiap hari ada saja kita saksikan keramaian dan pesta mulai dari tingkat yang besar-besaran seterusnya dengan yang kecil-kecilan. Pesta sambil menyediakamn lemang, tepung tawar dan emping. Pesta panen, pesta mengawinkan anak gadis dan pesta mengawainkan putera kesayangan. Ada yang mengantar, ada yang menerima dan ada pula yang sedang memberi restu. Demikianlah dapat disaksikan keramaian itu dan orang ramai hilir mudik.
Demikianlah negeri Sicike-cike bertambah ramai. Demikian pula pemuda perantau dari negeri lain makin banyak nerdatangan karena anak gadis pun begitu banyak yang cantik-cantik di negeri tersebut. Kemudia ada suatu hal di negeri itu, jika ada orang pendatang yang banyak hutang, maka orang tersebut ditebus dan menjadi budak yang menebus hutang tersebut. Oleh karena itu mulailah timbul kesombongan dan tinggi hati di kalangan penduduk.
Adalah suatu keluarga yang baru sampai di negeri tersebut yang punya anak laki-laki seorang. Mereka itu tergolong orang yang kurang berada, namun sang suami berwajah yang cukup menawan bagi kaum perempuan. Karenanya anak-anak gadis negeri itu saling berebutan pengaruh untuk menguasaai sang suami yang rupawan tersebut. Lupa akan anak-bini, si lelaki pun kawinlah untuk kedua kalinya dengan seorang gadis yang kaya- raya orang tuanya. Dan dalam jangka beberapa tahun lahir pulalah anaknya dari isteri yang kedua ini. Akhirnya sang suami tidak perduli lagi atas isteri yang pertama bersama anaknya. Terjadilah pilih kasih antara kedua rumah tangganya.
Sejalan dengan hal itu, raja negeri Sicike-cike pun seorang raja yang tidak memperdulikan penduduknya yang berkekurangan. Berkatalah dia.
"Negeri ini adalah negeri bertuah, tak ada istilah kemiskinan di sini. Siapa yang tidak mampu mendirikan rumah adat yang besar, dopersilakan keluar dari negeri ini," sabdanya. dengan peraturan tersebut, terpaksalah ibu yang malang tadi meninggalkan gerbang negeri tersebut bersama anak keasayangannya, tak ada pembelaan suaminya.
Dirambanyalah hutan jauh dari gerbang negeri itu, di sanalah dia mendirikan gubuk beserta puteranya yang hampir dewasa. Ditanami merekalah bermacam tanaman untuk menyambung hidupnya sehari-hari. Sesakli di waktu senja bertanyalah sng anak.
"Wahai BUnda, kenapa ayahanda tidak bersama kita lagi, sedang dulunya betapa sayangnya ayahanda terhadap diriku?" tanya anak itu. Menyahutlah ibundanya.
"Wahai nak sayang, tak usahlah ananda pikirkan hal itu lekaslah ananda besar, menjadilah orang berbudi. Biarkanlah ayahnmu bersenang-senang dengan puteri jelita nan kaya-raya.
Manalah diingatnya orang-orang yang bernasib seperti kita Nak," kata ibunya. Benarlah isteri kesayangan betul-betul dalam puncak kegembiraan. Sambil bersenang-senang, melagu dendang tentang keberuntungannya.
"Boboklah anak sayang, sungguh kita orang yang paling mujur. Nenekanda orang kaya-raya ternak tak terbilang, emas, perak, tak kurang. Bapakmu lelaki tampan bahan rebutan para gadis-gadis remaja. Boboklah sayang," kata isteri muda.
Pernah sekali, lewatlah seorang tua pikun dengan rambut yang semrawut dengan pakaian yang compang-camping. Dan sekujur tubuhnya penuh koreng dan luka-luka yang penuh darah dan nanah. Datanglah dia berhiba-hiba meminta belas kasihan sesuap nasi atau seteguk air. Dan meminta berkan sesobek kain karena rasa dingin yang tak tertahankan.
Maka turunlah orang dari bale mengerumuni si orang tua. Bukannya tutur sapa yang sopan, namun caci-maki yang menyayat jantung yang mereka lemparkan.
"Kalau tak diberi, janganlah ditiku dicibirkan," demikian kata orang tua. Namun orang ramai mendesak beramai-ramai dengan maksud menjatuhkan orang tua itu ke sungai, biar menggapai-gapai untuk mereka tonton. Sesaat orang tua itu berobah rupa menjadi laki-laki tampan, sesaat lagi menghilang tanpa bekas. Semua orang terpana. Mdereka mencari ke sekeliling tempat itu namun tak bersua lagi.
Dan sampailah orang tua keremat tersebut ke perladangan si ibu yang miskin. Si anak pun menyapanya dengan ramah.
"Wahai Nenekanda, sungguh kasihan, di sinilah Nenekanda hari menjelang gelap. Dikhawatirkan pula jika Nenekanda tersesat nanti. Jangan takut tak makan, masih ada beras kita sedikit, biarlah kububurkan buat Nenek. Dan akan kurebus nanti daun asam muda untuk obat Nenekanda."
"Wahai Cucunda yang budiman, terima kasih..... terima kasih. memang Nenek sudah capek dan lapar, dan hari pun sudah senja kala."
"Bapanda berada di negeri raja, tapi bunda berada di ladang sebelah hulu mengambil sayur cendawan biar ada nanti buat kita sayur, Nenekanda," sambung anak itu.
Tiada berapa lama si ibu pun sudah kembali dari ladang sambil membawa cendawan dan pisang yang ranum sebakul penuh dan mempersilakan si Olih anaknya memakan pisang bersama sang nenek.
Dimarakkan ibulah api dekat tungku dan mempersilakan siorang tua duduk dekatnya. Benarlah anak-beranak itu tidak ada merasa jijik terhadap orang tua yang mereka muliakan. Malam itu, bermalamlah sang orang tua dengan cukup nyaman. Sungguh panjang sang ibu menguraikan dan memaparkan segala derita yang dialaminya. Numun sang orang tua hanyalah menanggukkan kepala saja dengan penuh prihatin. bahkan kekejaman penduduk Sicike-cike pun tak ada diungkapkannya.
"Semoga Yang Maha Kuasa membalas dan memberikan kebaikan anda berdua, jika diriku tak ada kesanggupan." Walau si ibu anak-beranak menahannya, namun orang tua itu berkeras pergi yang katanya kesebuah tempat di seberang gunung. Sekejap saja orang tua itu pun lenyap tak berbekas. Demikian takjubnya anak beranak itu.
"Wahai Olih anakku," memang sebaiknyalah kita selalu berlaku sopan santun terhadap siapa saja. Siapa tahu orang tua yang bermalam tadi adalah seorang sakti atau keramat," kata ibunya.
Telah dua tahun berturt-turut Sicike-cike ditimpa kelaparan. Namun hati mereka makin sombong. Padahal sudah banyak diantaranya yang capek meminjam ke sana kemari, termasuk ayah si Olih. Suatu sore, lewatlah tujuh orang gadis. Karena hari hampir gelap, mereka minta izin kepada penduduk desa untuk bermalam, namun satu orang pu tak ada yang sudi menerima.
"Siapa pula mau bertamu sampai tujuh orang, kalau minta makan 'kan susah. Sedang awak sendiri kelaparan. Lafgi pula tujuh orang hampa tangan tak membawa apa-apa." Semulah orang buru-buru menutup pintu.
"Di sini sajalah kita tidur dekat gerbang negeri ini," demikian salah seorang di antaranya.
"Terus sajalah kita wahai adinda. Jika tak dapat bermalam di negri ini, biarlah. yahanda mengatakan bahwa tidak berpa jauh dari sini, itu di lereng bukit ada sebuah rumah. Lihatlah 'kan ada jalan menuju ke sana." Mereka pun meneruskan perjalanan dan terlihatlah cahaya api kelap-kelip. Tiada berapa lama sampailah mereka di rumah itu.
Demikian baiknya sambutan pemuda Olih bersama ibunya.
"Asalkan Ananda sabar tidur di gubuk yang reot-reot begini." demikian ujar sang ibu.
"Terima kasih Bunda, dengan segala senang hati kami bermalam di sini," kata gadis- gadis tersebut.
Si ibu menyediakan makanan yang sangat sederhana, umbi-umbian yang dicampur dengan beras. Dan makanlah mereka bersama-sama. Dan ibu dengan hati terbuka mengatakan dan menyajikan apa adanya. Ketujuh orang gadis itu pun ikhlas atas semua keadaan. demikianlah mereka makan dengan penuh nikmat. Akhirnya para gadis-gadis minta izin untuk tidur karena sudah merasa capek dan mengantuk.
"Jika ada, sudi kiranya ibu memberikan kami selimut sebagai selubung yaitu tikar besar yang lebar." Sembari berpesan dimohon kepada ibu itu.
"Jangan hendaknya selubung itu dibuka waktu kami dalam keadaan nyenyak," Permintaan itu pun dipenuhi oleh ibu sang pemuda dengan kepolosan hatinya.
Sudah enam hari enam malam para gadis tidur nyenyak dengan dengkur yang bersahut-sahutan, namun sang ibu tiada berani membuka selubung itu.
Sampailah ke hari yang ketujuh. Si ibu pun memberanikan diri membuka selubung. Dan alangkah terkejutnya, didapatinya telah tertimbun-timbun padi di atas tempat tidurnya, dan sudah penuh sampai ke kolong. Hanya tinggal satu orang yang masih utuh kepala sampai keleher.
"Untunglah tidak terlambat," ambillah air, perciklah diriku," demikian permohonannya. Lalu dikabulkan oleh ibu si Olih. Demikianlah sekali lagi mereka saksikan padi yang bertimbun-timbun tersebut. Dan terdiri dari tujuh warna dengan butir-butir yang sangat indah dan menarik.
"Janganlah kita menjadi heran, karena ini adalah bantuan dari Yang Maha Kuasa, sebab Ayahanda (sebagai orang keramat) itulah yang telah berkenan menyuruh kami di sini. Dan saya sendiri sebagai penjelmaan kami bertujuh, jika Ibunda berkenan, jika Kanda Olih menaruh cinta kepadaku, diriku rela menjadi isterimu dan di kau Bunda menjadi ibu mertuaku." Dengan rasa penuh gembira sang ibu pun merangkul sang gadis dan menyatakan bahwa dia sangat senang menerima kehadiran gadis tersebut.
Pendek cerita, terciptalah rumah tangga yang bahagia antara pemuda Olih dengan puteri Keramat. Dan padi itu menjadi bekal pemuda Olih dengan puteri Keramat. Dan padi bekal hidup mereka sehari-hari. Istimewa pula dengan rasa yang cukup gurih dan wangi.Karena lembeknya menyerupai pulut (getah), mereka namailah padi itu padi pulut.
Menurut yang punya cerita, dari situlah asalnya padi pulut. Tersiarlah bahwa pemuda Olih telah berumah tangga dengan puteri jelita dan padi mereka bertimbun-timbun, penuh kolong sampai ke halaman.Dan brdatanganlah penduduk negeri Sicike-cike, berduyn-duyun meminta pertolongan meminjam atau membeli . Berkatalah isteri si Olih kepada semua tamu yang berdesa-desak.
"Wahai semua penduduk negeri Sicike-cike, ubahlah budi pekertimu. Jangan anda merasa congklak dan sombong terhadap sesama manusia. Ketahuilah bahwa ayahandalah yang anda aniaya dua tahun yang lewat. Dan di waktu kami kesorean dulunya, seorang pun tak sudi menolong kami. Jika anda tidak mau berobah, kami tidak sudi menolong kalian. Tapi jika kalian sadar dan berobah sikap, akan kami bagikan padi itu secara cuma-cuma.
Bersoraklah mereka bergembira menyambut ucapan isteri si Olih, dan berjanji mengobah sikap masing-masing. Raja negeri itu sendiri merasa malu yang mendalam atas sikap rakyatnya.
Karena memang dia telah tua dengan ikhlas diangkatlah si Olih sebagai wakilnya. Selanjutnya si Olih dengan seluruh keluarga pindah ke istana. Setelah raja Itu berpulang, si Olih sendirilah dinobatkan menjadi raja. Makin majulah negeri itu di bawah pemerintahan raja yang baru itu.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara
0 Response to "Cerita Asal Usul Padi Pulut"
Post a Comment