Cerita Burung Beo
Alkisah Rakyat ~ Dalam sebuah negeri, memerintahlah seorang raja. Negeri ini besar dan penduduknya banyak dan mereka itu hidup aman dan sejahtera. Ternak berkembang biak, hasil tanaman dan buah-buahan memuaskan, hasil pertanian tumpah ruah. Mereka itu hidup rukun dan bersatu-padu. Sungguh mereka itu seia-sekata dalam menikmati sesuatu yang gembira dan sebaliknya sama-sama berduka jika kesusahan sedang menimpa.
Pendeknya dapatlah digolongkan bahwa negeri tersebut dapat dijadikan menjadi contoh dan teladan. Suatu negeri yang termasyuhur kemana-mana tentang keindahan dan kebaikannya. Dari penduduk yang begitu ramai, marilah kita ceritakan tentang kehidupan sebuah rumah tangga. Keluarga mereka adalah dalam kandungan sehat walafiat. Mereka adalah orang berada, banyak ternaknya dan banyak juga uang serta emas dan peraknya. Dan mereka itu memiliki ladang yang cukup luas.
Dalam membantu menjaga harta mereka itu mereka memelihara beberapa orang pembantu. Mereka sangat rukun terhadap teman sekampungdan terhadap tetangga. Dan mereka tidak pernah berbuat sombong terhadap kawan sekampung ataupun orang-orang miskin. Tersebutlah bahwa mereka itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita. Sungguh kecantikannya bagai bulan purnama. Karena kejelitaannya inilah, maka orang tuanya memberi nama baginya Nantampukemas.
Kecantikan rupa ditambah lagi dengan kebaikan budinya tutur katanya, lenggak-lenggoknya serta senyumannya sungguh menawan. Tak satu pun jalan untuk mencaci atau memburukkannya. Itulah jalannya maka banyak pemuda yang menaruh hati dan tergila-gila kepadanya. Dari tempat dekat sampai negeri yang jauh, berdatangan menemui Nantampukemas. Tak usah disangsikan lagi, lirikan disertai seulas senyum senanglah hati para pemuda. Walau secara tak sedar sawah ladang terjual dan tergadai, hanyalah gara-gara ingin menemui anak dara jelita. Demikianlah telah berbilang kali raja-raja dan para panglima datang meminang Nantampukemas. Semua pinangan diterima baik yang selanjutnya ditolak secara halus. Dengan alasan bahwa dirinya belum cukup dewasa untuk memasuki jenjang rumah tangga.
"Maaflah para orang tua cerdik pandai sekalian, hanya jasmaniah diri ini telah dewasa, namun pengalaman dan pengetahuan diriku masih sangat hijau. Maka kami sarankan agar anda mencari yang lain, semoga jodoh anda lekas bersua."
Berhubung begitu banyak setiap harinya yang ingin menemui Nantampukemas, berkatalah ayahandanya.
"Benar anakku, selaku orang tuamu kami bangga jika banyak yang menaruh rasa cinta kepada ananda. Tetapi walau demikian siapa tahu jika ada di antaranya yang khianat dan dengki. Ataupun tipu muslihat orang. Oleh karena itu wahai anakanda, ayah bunda telah sepakat agar ananda baik saja menetap di anjung- peraduan. Tak usah sering sungguh menampakkan diri jika tidak karena keadaan yang sangat mendesak," katanya.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa siang-malam kebanyakkan Nantampukemas berada diatas jerro (anjung). Walaupun nampaknya Nantampukemasmakan bersenang-senang, namun hatinya sebenarnya adalah hancur luluh. Pada suatu hari, sewaktu musim merambah ladang bermohonlah dia agar ikut ke ladang besok harinya.
"Bunda, kumohonkan agar ananda ikut besok hari, semuanya kawan annda ikut juga ke ladang mereka. Diriku juga bunda sungguh ingin melihat ladang kita. Biar ananda tahu di arah manan letak ladang kita," katanya. Berkatalah bundanya.
"Wahai anak kesayanganku, tak usahlah ananda ke ladang, sungguh anakku bahwa di sana banyak duri, kutu-kutuan, semut serta penyengat. Lihatlah anak begitu halus kulit tanganmu. Sudahlah, di rumah sajalah anakku. Tidu-tidurlah di atas anjung. Kan banyak pembantu kita. Nantilah musim menebang ananda boleh ikut, percayalah nak," jawab ibunya.
Dengan hati polos Nantampukemas pun menurut."Betul ya bunda, di musim menebang nanti anakanda akan turut." Tibalah musim menebang. Kembali Nantampukemas menagih janji, supaya ia dibolehkan turut serta. Dan menyahut pulalah orang tuanya.
"Jangan anak sayang. Bagaimanakah anak dara turut menebang. Kalau pemuda memang pantaslah itu, menunjukkan keahlian dan ketangkasannya meranggas kayu . Sudahlah nak, tak usahalah ikut ananda. Jika ananda tertimpa kayu,'kan ayah juga yang mendapat malu. Percayalah di musim membakar nanti biarlah ananda ikut," kata ibunya. Karena sifat penurut yang tulus ikhlas, maka Nantampukemas pun menurutilah. Sampailah dengan musim membakar ladang seperti yang dijanjikan dahulu, Nantampukemas pun menuntut janjinya. Namun ayah-bundanya tetap tidak mengizinkan.
"Jangan nak sayang, kita tidak tahu betul bagaimana putaran angin. Sedang gunung lagi bisa terbakar habis sampai ke puncaknya. Percayalah, jangan ragu-ragu. Betul-betul, bahwa di masa melungguk kayu nanti ananda benar-benar akan kami ikut sertakan," jawab ibunya lagi. Kemudian tibalah musim melengguk kayu tersebut; kiranya jika musim menugal nanti tak ada padi yang tercecer percuma.
Selesai melungguk, tibalah musim manugal. Dapat dibilangkan musim manugal inilah suatu kesan yang sangat menggembirakan bagi muda-mudi. Sebab musim menugal inilah penduduk negeri saling ajak-mengajak bergotong- royong. Dan mereka itu makan bersama di ladang. Bagi mereka yang berladang sangat lebar, penugal di ladang mereka bahkan mencapai ratusan orang. Jadi menunggu menugal pada besok hari, para gadis sudah terlebih dahulu memasak gulai, yang banyaknya juga cukup menjadi lauk-pauk untuk semua orang yang menugal. Besoknya setelah menugal ladang dimaksud sampai beberapa jalur, peserta beristirahat untuk makan bersama. Sewaktu-waktu tersebut dibagilah yang menentukan besar-kecilnya jambar (bagian) yang istimewa. Penggelati itulah yang menentukan besar- kecilnya jalur. Penjarumi ialah yang mempersatukan tepi masing-masing jalur. Jam makan menugal ini biasanya adalah sekitar jam-jam sembilan.
Tersebutlah bahwa telah tiba waktunya hari menugal ladang orang tua Nantampukemas. Dan sudah begitu banyak penduduk yang mereka undang. Karena ladang yang begitu lebar, undangan mereka pun mencapai ratusan orang. Entah berapa ekor ayam mereka sembelih untuk gulai para tetamu. Nantampukemas sudah nyata-nyata menyampaikan kepada ayah-bundanya, bahwa besoknya supaya dia ikut menugal. Dan Sudah disetuji bundanya serta menyuruh Nantampukemas tidur di anjung, agar jangan mengantuk besok harinya. Yakinlah Nantampukemas atas janji ibunda tersebut. Rupanya besok harinya, hari sudah begitu tinggi namun tak ada orang yang menjemput Nantampukemas. Datanglah pembantu (budak) mereka membawa kerak-kerak nasi yang basi dan duri ikan. Padahal sebelumnya sudah dipesankan ayah-bundanya supaya dua orang anak gadis berkenan menemani Nantampukes, dan meladeni Nantampukemas dengan gulai ikan jurung yang disalai serta hati ayam yang gurih; agar pada hari itu Nantampukemas ikut ke ladang dan dapat berjalan pelan-pelan. Rupanya semua orang telah pergi. Tinggallah Nantampukemas kesepian seorang diri di atas anjung. Tak makan dan tak pula minum, sebab tak dapat dimakannya kerak-kerak tersebut, apa lagi air minumnya pun bekas cucian tangan yang dihidangkan budak tersebut. Dan tempatnya pun adalh tempurung kelapa yang busuk. Menangislah dia berurai air mata, atas perlakuan ayah-bunda terhadapnya. Merataplah dia.
"wahai ayah-bunda, turut kata anda menyatakan bahwa ayah-bunda kasih sayang pada diriku. Anda suruh anakanda bermanja di atas anjung siang dan malam. Padahal ayah-bunda sudah bosan dan muak terhadap diriku. Bahwa anda sudah menginginkan akan kematian. Jika memang demimian kenapa anada sembunyi-sembuny. Jika ayah-bundalah berbuat begitu terhadap anakanda kejurang yang dalam itu, supaya disambut oleh batu yang menyeringai itu. Hanyutkanlah ananda agar menjadi sarapan biawak ataupun buaya. Biar hancur badan ini disambar ikan ataupun dijepit kepiting. Kalau tidak, tambatkanlah diriku ke tengah hutan belantara yang sunyi, biar ada buat mangsa harimau atau beruang. Atau pun gulingkan saja diriku ke jurang yang dalam lagi sunyi itu, biar ada santapan ular raksasa penghuninya. Jika tidak pun tanam atau kuburlah ananda hidup-hidup, ananda tidak akan menampik. Wahai ayah-bunda, sampai hatimu menyediakan kerak basi, minuman cucian tangan serta bergulaikan duri ikan yang penuh abu. Wahai nasib dan peruntungan, apabilakah dikau dilahirkan di atas dunia fana ini? Suratan tangan apakah yang engkau pintakan kepada Maha Pencipta?" demikian ratap tangisnya. Tiba-tiba, hinggaplah seekor beo hitam di atas bumbungan anjung tempat Nantampukemas. Dan burung beo itu dapat berbicara sebagai manusia. Berkatalah burung beo.
"Kenapa dikau menangis wahai tuan puteri? Begitu dikau cantik jelita, tidak kurang suatu apa. Kaya-raya, empunya ternak kerbau yang banyak, punya ladang yang luas, mempunyai banyak uang, emas dan perak. Begitu jelita di kau bagaikan bulan purnama, konon pula dikau menangis. Betapa sayang air matamu yang bercucuran. Sudahlah, sapulah air matamu, diri ini pun nanti turut larut dalam duka nestapa. Sedangkan awak, beginilah nasib peruntungan, bermandi hujan berpanas matahari, menahan badai dan topan, guruh dan halilintar, memakan buah dan ulat-ulat busuk. Tidur di ranting-ranting kayu entah pun dalam lobang -lobang yang busuk. Namun demikian diriku tidak menangis sebagai apa yang kau lakukan," burung beo itu berkata menghiburnya.
Berkatalah Nantampukemas."Oh, burung tiung, betapa sombong engkau terhadap diriku. Mengapa menangis, demikian engkau bertanya. Benarlah itu, lebih baiklah diriku mati daripada hidup. Apalah gunanya memperbanyak jumlah, padahal diri tidak masuk hitungan lagi. Padahal orang sudah bosan pada awak. Karena bukan kaulah, wahai beo yang menderita. Padahal jika engkau sednirilah yang menahankan, engkau sudah segera akan bunuh diri," jawab gadis itu.
"Kenapa rupanya maka engkau berkata begitu?" demikian burung beo bertanya.
"Wahai beo, jika aku ceritakan semuanya, tidak cukuplah waktunyatujuh hari tujuh malam. Namun demikian biarlah kiceritakan berapa adanya, dekatlah engkau kemari supaya cukup jelas engkau dengar," jawabnya.
"Siapalah orangnya tidak akan menangis, jika diri siang malam dikurung di atas anjung. Diantar makan dan minum. Berapa kalilah kuminta agar diriku diizinkan ikut ke ladang namun tak pernak terkabul. Hanyalah dengan janji yang berkepanjangan.
Habis merambah musim menebang, habis menebang musim membakar. Habis pula itu musim melungguk kayu dan menugal. Dan tepatlah hari ini kami menugal. Dan ayah-bunda telah menjanjikan yang diriku turut serta. Rupanya beginilah janjinya. Lihatlah wahai beo yang bertuah, diberinyalah awak kerak-kerak nasi, air cucian tangan, dan tulang-tulang ikan. Siapakah yang tidak menangis disebabkan yang demikian? Engkau jauh lebih senang dari diriku," kata si gadis. Terserah padamu hendak ke mana engkau akan terbang dan sesukamu kemana engkau akan hinggap." Mendengar hal yang demikian burung beo (tiung) itupun turut menangis. Sebab tatkala Nantampukemas berbicara itu, air matanya terus mengalir. Berkatalah tiung selanjutnya.
"Jadi tidakkah anda menyesal jika sekiranya anda dapat terbang sebagai diriku ini? Tapi ingat, sekali menjadi burung tiung selama-lamnya tak bisa kembali menjadi manusia. Biar bagaimana nanti bujuk rayumu, namun tak bisa lagi menjadi manusia. Sebab anda bisa nanti menjadi burung beo, apalagi kita mendoa ke hadirat Khalik Pencipta bumi dan langit. Sekali lagi kukatakan bahwa sungguh menderita jika menjadi burung. Berselimutkan embun dan gelap gulita, bermandikan hujan dan badai. Tidur di atas hutan belantara memakan biji-bijian serta ulat. Padahal anda sudah terbiasa tidur dia tas tilam serta tikar tujuh lapis, selimut yang berbunga dan berenda. Dengan lampu lilin yang warna-warni. Tidur dikipas oleh anak dara kiri dan kanan. Makan nasi pilihan bak telur asemut, bergulaikan hati ayam, meminum air yang bergulakan tengguli. Tidur dinina- bobokkan oleh buluh perindu, dibisikkan dengan mesra oleh gonggong dan saga-saga (musik Pakpak tradisional). Itulah kata-kata buat engkau pikirkan, Wahai Nantampukemas," kata beo.
"Benar sungguh penuturanmu wahai burung beo. Namun bagiku sungguh tak ada lagi ucapan penyesalan. Telah engkau dengar tadi senandung dan ratapanku. Dari hidup bercermin, baiklah mati berkalang tanah. Tapi jika benar dikau menaruh iba pada nasibku, ajarilah saya bagaiman caranya supaya dapat menjadi burung tiung seperti anda," mohon si gadis.
"Jika benar apa yang abda utarakan, memang dikau bisa menjadi burung tiung. Ambillah tikar tujuh lapis. Ambillah emas tujuh batang, perak tujuh ringgik, ambil pulalah minyak tujuh jenis. Jadikanlah emas menjadi tepung, tumbuklah perak, tumbuklah arang,. Campurkanlah tepung-tepung itu dengan minyak," kata burung beo. Selesai sudah dikerjakan oleh Nantampukemas. Berkatalah burung beo.
"Jika demikian, duduklah anda di atas tikar tujuh lapis. Sekali lagi anda ditanya, apa benar telah bulat tekadmu menjadi burung beo?"
"Sudah bulat tekadku," demikian Nantampukemas.
"Jika demikian, bakarlah kemenyan (dupa) kata burung beo. Dipersiapkanlah dupa (perasapan).
"Jika sudah, menyerulah terhadap yang menciptakan semesta alam. Mintalah supaya anda berobah rupa menjadi tiung turun -temurun, sampai datang nanti ajal alam raya ini (kiamat)," kata beo lagi. Mendoalah Nantampukemas kepada pencipta Semesta Alam.
"Wahai Khlaik Yang Menciptakan bumi dan langit serta isinya, kasihanilah diriku, takdirkanlah saya menjadi burung beo. Dan disini telah kusediakan syarat-syarat dunia, tepung emas, perak dan arang beserta tujuh cawan minyak, minyak alam yang engkau ciptakan. Dan sudah kubuatkan dupa selaku persaksian janji setia bahwasanya diriku tidak akan menaruh sesal kepada siapa pun. Saya yang memohon dan yang menerima dan menanggung segala akibatnya." Bwerkatalah tiung.
"Ambillah tepung emas, sapukanlah ke muka kamu, telingamu, serta kakimu," katanya. Dan dilakukan oleh Nantampukemas. Benarlah Nantampukemas telah bertukar rupa.
"Selanjutnya ambil perak dan arang sapukan ke sekujur tubuhmu," ujar beo. Dan dilaksanakan. Sungguh kini nantampukemas benar-benar telah menjadi burung beo. Namun suara dan daya pikirnya tetap seperti manusia biasa. sesaat dia berubah rupa, menangislah dia dengan sedihnua. Teringatlah dia akan seluruh sanak saudaranya. Sebentar lagi akan berpisahlah bersama mereka semuanya. Berkatalah burung beo yang asli.
"Janganlah anda menangis, sebab andalah yang menghendaki ini semua. Cobalah terbang ke atas bubungan rumah pamanmu." Terbanglah dia dengan air mata yang bercucuran, demikianlah ratapnya.
"Wahai tiung, wahai tiung, wahai bunda yang tersayang jangan bunda mencari-cari, jangan pamanda berurai air mata. Sudah demikian rupanya nasib badan, sudah demikian suratan takdir, Nantampukemas menjadi nurung beo. Wahai bunda, telah aku ambilkan tikar tujuh buah. Sudah kuambil emas kita, perak kita serta minyak kita. Anandalah Nantampukemas telah menjadi burung beo. Iang kiung inang kiung." Demikianlah dia latihan terbang dari pohon durian kepohon pinang, tepian mandi serta halaman tempat bermain. Rumah bibi dan mneneknya, semua sanak pamili dipamitinya sambil terbang dan terus-terusan bersenandung.
"Sudahlah itu, tadi pun kukatakan supaya kau jangan menyesal. Tapi sudah bulat tekadmu menurut pengakuanmu. Lagi pula engkau sendirilah tadi yang mendoakannya. Maka sekarang marilah ke ladang orang tua anda, supaya anda dapat pamitan nantinya terhadap semua pamili kita," kata tiung asli.
"Marilah kita pergi," demikian Nantampukemas. Sampailah mereka itu ke ladang, dan orang ramai kebetulan istirahat. Hinggaplah Nantampukemas pada sebuah pohon besar. Namun dari tempat itu nampak ke seluruh orang yang istirahat twersebut. Kembalilah dia bersenandung. Iang kiung, inang kiung.
"Wahai bunda terhormat, jangan ibunda cari-cari. bahwa diriku telah jadi tiung. Telah kuambil emas, telah kutumbuk perak kita dan telah kekembang tikar, janganlah bunda capek mencariku. Pergilah ananda wahai bunda, ke hutan belantara memakan biji-bijian serta ulat. Bermandi hujan berpalut embun, bergendang suara petir dan guruh beserta topan beliung, tinggallah bunda, inang kiung. Sudah demikian rupanya suratan takdir, sudah bosan rupanya bunda terhadap ananda. Bunda beri aku kerak nasi yang basi, gulainya tulang ikan yang berabu, minumnya dengan air cucian tangan, inang kiung, inang kiung." Terdengarlah suara itu oleh orang ramai.
"Wahai kawan, suara apa itu gerangan, persis betul suara manusia. Mari kita dengarkan jangan ada yang ribut," kata salah seorang.Terdengarlah kembali suara yang berhiba-hiba.
"Tinggallah anda semua, tinggallah dikau pamanda, tinggallah anda seluruhnya. Kiung inang, kiung inang. Jika ada salah tingkah ananda, jika tersalah tutur kata, jika tersalah langkah dan cara duduk ananda, kumohon ampun ke hadapan tuan. Diriku akan pergi menuju rimba raya, menyeberangi gunung dan laut, menyeberangi bukit dan lembah, tinggallah segala yang kukasihi," demikian bunyi tiung itu.
"Engkaulah itu Nantampukemas?" demikian ayah-bundanya. "Benar bunda, tidak tertahan oleh ananda makan kerak nasi yang sudah basi, tulang-tulang ikan serta meminum air cucian tangan. Tinggallah ayah-bunda, ananda akan turut bersama burung tiung. Sudah begitu rupanya nasib bagian dn peruntunganku. Selamat berpisah ayah-bunda, jangan lupa kepada ananda yang berbantal ranting kayu, memakan biji-bijian kayu bergulaikan ulat, berumah dalamlobang kayu yang gelap. Semoga panjang umurmu wahai ayah-bunda," kata Nantampukemas yang telah menjadi burung tiung (beo).
Yakinlah mereka semuanya, bahwa Nantampukemaslah yang bicara. Seorang pemuda memanjat pohon guna mengambil puteri Nantampukemas. Saat itu terbanglah tiung asli, dan menyusul pulalah Nantampukemas. makin lama makin jauh. Semua orang ramai berurai air mata atas kepergian Nantampukemas. Dan banyaklah mereka itu yang terjerumus ke dalam jurang, dengan maksud untuk mengejar Nantampukemas, padahal tak dapat mereka temui.
Sumber : Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara
0 Response to "Cerita Burung Beo "
Post a Comment