Partiga Tiga Sipunjung Dan Anggaranim
Alkisah Rakyat ~ Menurut yang empunya cerita kisah ini terjadi di Simelungun, Sumatera Utara, sekitar abad ke-17. Pada suatu hari seorang laki-laki, PARTIGA TIGA SIPUNJUNG, berangkat dari kampunganya Sibisa, dekat Prapat, menuju Si melungun. Bersamanya ikut adik tirinya, seorang gadis yang bernama ANGGARANIM.
Isteri Partigatiga Sipunjung tinggal di kampung bersama beberapa orang anak dan cucunya. Salah seorang cucunya bernama Siali Urung. Ia laki-laki setengah baya, berbadan tegap dan kuat. Gadis itu cantik sekali dan suka berkaca di mata air yang jernih. Sesudah beberapa hari berjalan kaki, mereka sampai di kampung Silampuyang, lalu menetap disitu.
Tidak berapa lama kemudian Partigatiga Sipunjung kawin dengan seorang perempuan dari marga Saragih yang termasuk berkuasa di kampung itu. Penguasa yang memerintah di daerah yang disebut Siantar itu ialah Raja Sitanggang yang termasuk marga Saragih. Serupa Partigatiga Sipunjang, Raja Sitanggang suka sekali mengadu ayam dan berjudi. Kedua juara tentu saja sering berhadapan di gelanggang melaga ayamnya.
Dalam pertarungan ini Partigatiga Sipunjung ternayat paling mujur. Ia lebih banyak dan lebih sering menang daripada Raja Sitanggang. Karena jengkel, Raja Sitanggang akhirnya menantang lawannya mengadu ayam mereka untuk penghabisan kalinya dengan bertaruh habis-habisan. Ia mempertaruhkan seluruh daerah kekuasaannya berikut semua yang ada di atasnya termasuk benda-benda yang bernyawa.
Tantangan ini diterima Partigatiga Sipunjung. Sebagai taruhan dari pihaknya diajukannya semua harta bendanya, termasuk adiknya yang cantik, Anggaranim. Maka adu ayam itupun mulailah. Sekitar gelanggang penuh penonton yang bersorak-sorai dan masing-masing menjagoi juaranya. Sesudah bertarung lama dan sengit, ayam jago Partigatiga Sipunjang berhasil menewaskan lawannya.
Kekalahan ini diterima Raja Sipunjang dengan ksatria. Sesuai dengan perjanjian, seluruh daerah, harta benda dan rakyatnya diserahkannya kepada pemenang. Dan penyerahan itu berlangsung secara resmi, disaksikan oleh seluruh rakyatnya. Sesudah itu Raja Sitanggang berangkat ke Tanah Jawa, dimana seorang dari marganya memerintah. Sesudah ia menang, Partigatiga Sipunjung kembali ke Sibisa. Kepada cucucnya, Siali Urung ditawarkannya untuk menjadi penguasa di daerah yang dimenangkannya. Tawaran ini diterima cucucnya dengan senang hati.
Anggaranim yang tinggal di Siantar sesudah abangnya kembali ke Sibisa, tetap tidak kawin. Sekalipun banyak yang melamarnya pada Partigatiga Sipunjang, ia tetap menolak. Setiap hari gadis itu berkaca dimata air "Tapian Suhi Boh Bosar" yang terdapat di Pematang Siantar itu.
Pada suatu hari, sedang ia bermain-main lagi di pinggir mata air itu, sebuah dahan kayu telah jatuh menimpanya. Ujungnya yang runcing mengenai hidung gadis itu sehingga luka-luka. Sesudah lukanya dibersihkannya, ternyata hidungnya cacat, sehingga hilanglah kecantikan gadis itu. Anggaranim tidak lagi secantik dulu, ketika setiap pemuda kagum memandangnya.
Sejurus lamanya ia duduk termenung memikirkan nasibnya. Ia sadar, bahawa perubahan wajahnya adalah hukuman yang dijatuhkan Yang Maha Kuasa kepadanya. Dengan hati sedih dan air mata berlinang ia minta ampun dan memohonkan kepada Yang Maha Kuasa untuk mengembaliakan kecantikannya seperti sediakala. Namun permohonannya sia-sia belaka. Wajahnya tetap cacat. Karena sedihnya ia tidak mau pulang dan tetap duduk merunung wajahnya di mata air yang jernih itu. Siang malam ia tinggal dekat mata air itu, seolah-oleh menantikan suatu mukjizat yang akan mengembalikan kecantikannya. Makanannya pun harus dibawakan kepadanya.
Pada suatu hari, ketika ia ditemani oleh beberapa orang kampung, ia meminta sehelai kain sarung yang dalam bahasa Simelungun disebut "hiou sendei." Kain jenis ini dihiasi garis-garis aneka warna yang indah. Sesudah menerima apa yang dimintanya, kain itu dipergunakannya selain untuk pakaian, juga untuk selimut. Bila kain itu dipakainya malam hari di bawah sinar rembulan, rupanya sungguh mempesonakan.
Pada suatu pagi, ketika orang-orang kampung lewat dekat mata air itu untuk pergi ke swah, dengan takjub sekali mereka melihat perubahan yang aneh pada gadis itu. Kakinya sudah berubah menjadi ekor ular besar! Dari perut sampai ke kepala ia tetap berupa manusia. Tapi bagian dari paha hingga kakinya telah berubah menjadi bagian belakang sebangsa ular sinca yang dalam bahasa Simelungun disebut "ulok sendei."
Bagian yang menjadi ular ini penuh sisik dan bintuk-bintik yang indah. Ujung ekornya yang runcing terus-menerus mengibas perlahan dalam air yang jernih itu. Dari perut hingga kepalanya Sianggarnim masih dapat ditandai. Sesudah perubahan jasadnya terjadi, gadis itu menanggalkan semua pakaiannya. Peristiwa menggemparkan ini segera tersiar kemana-mana. Dari segala penjuru orang datang berduyun-duyn untuk menyaksikan kejadian yang aneh itu.
Sesudah melihat gadis setengah manusia, setengah ular itu, beberapa di antara pengunjung cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka takut akan di serang oleh manusia ular itu, sebab mereka adalah oarang-orang yang dahulu sangat cemburu melihat kecantikan Sianggaranim dan berusaha menyingkirkannya. Perubahan manusia menjadi ular berlangsung terus secara berabgsur-angsur. Ketika badannya hingga leher sudah penuh bintuk-bintik dan sisik-sisik, pada suatu hari Anggaranim berkata sambil tersenyum.
"Panggilan anangku Partigatiga Sipunjung dan anak-anak serta cucu-cucunya kesini. Aku ingin pamitan dengan mereka." Memenuhi permintaan ini dianggap sebagai penghormatan terakhir yang harus diberikan kepada seseorang yang akan meninggal. Maka segera dikirimlah utusan-utusan untuk menghubungi Partigatiga Sipunjung dan anak cucucnya.
Para penduduk datang ke mata air itu membawa topeng, gendang dan alat bunyi-bunyian lain. Mereka bergendang dan melakukan "tortor" (tarian) seperti biasa dilakukan untuk menghormati orang yang meninggal.
Dengan senang Sianggaranim memandangi mereka yang "manortor" itu sambil mendengarkan lagi lagu sendu yang didendangkan gadis-gadis. Dengan penuh perhatian ia duduk dengan tenang tanpa sedikit pun mengeluarkan air mata. Irama tarian dan nyanyian itu diikutinya dengan meliuk-liukkan badan ularnyayang lemah gemulai. Sewaktu-waktu ia mengangguk angguk menyatakan persetujuannya.
Semua yang hadir memperhatikannya dengan kagum, sebab begitu bagian bawah tubuhnya digulungnya dan kepalanya diangkatnya, rambutnya yang panjang dan berkilauan kelihtan seluruhnya.
Sekalipun hidungnya cacat, dalam sikap yang anggun itu rupanya masih cantik dan mempesonakan.Lebih cantik lagi oleh warna kulitnya yang gemerlapan disinari matahari pagi. Sianggaranim menjulangkan badannya lebih tinggi lagi, sehingga ia sama besarnya dengan seorang perempuan yang normal. lalu diucapkannya kata-kata perpisahannya lkepada Partigatiga Sipunjung.
"Abangku Partigatiga Sipunjang yang sangat kucintai, ada masa datang dan ada masa pergi. Sekarang sudah tiba giliranku untuk meninggalkan dunia ini. A,puni dosaku....Dosamu sendiri akan tetap tidak terhapus. Sebagai hukuman aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa agar semua keturunanmu yang perempuan tidak akan pernah dikurniai kecantikan serupa aku..."
Tiba-tiba Sianggaranim menjelma lengkap menjadi seekor ular. Perlahan-lahan ia merangkak menjauhi mata air itu ke arah Bah (sungai) Sorma, dimana sekarang rumah potong Pematang Siantar berdiri.
Kepergiannya diiringkan terus oleh bunyi gendang, tortor dan nyanyi-nyanyian sedih. Sesampainya dipinggir Bah Sorma, untuk penghabisan kalinya ia mengangguk ke arah Partigatiga Sipunjung, lalu menghilang di tempat yang dalam. Semua yang hadir meninggalkan tempat itu dengan muka sedih. Mereka sangat terharu oleh peristiwa itu dan bertanya dalam hati masing-masing mengapa peristiwa itu menimpa Sianggaranim. Sejak itu gadis yang menjelma menjadi ular itu dijuluki "NAN SORMA," nama yang mengingatkan pada sungai dimana ia menghilang.
Konon pada suatu hari sesudah Nan Sorma menelinap ke dalm sungai itu, beberapa orang petani dikejutkan oleh suatu gejala yang aneh. Dekat sebuah mata air dekat Bah Sibulu, kira-kira 1 km dari tempat dimana sekarang rumah potong Pematang Siantar berdiri, mereka melihat di atas sebuah bukit warna yang aneh menyerupai pelangi. Mereka mendekati tempat itu dan menemukan sekumpulan besar ular. menurut dugaan mereka yang terbesar diantaranya pastilah Nan Sorma.
Hal ini mereka laporkan kepada rajanya Siali Urung, Sang raja segera mengirim beberapa orang perempuan utusan ke tempat itu. Mereka membawa tepak sirih lengkap dengan isinya. Setibanya di tempat ular itu, tepak sirih itu mereka letakkan di hadapannya. Setiap kali seekor ular lewat mereka berkata.
"Kalau kau keluarga kami, terimalah sirih ini...." Tetapi ular-ular itu semuanya takut dan menjauhi para tamu. Akhirnya muncullah seekor ular besar yang anggun. Tepak sirih itu diterimanya, dibawanya ke mata air, lalu dikosongkannya. Tuan yang kosong itu dibawanya kembali seolah-oleh menegaskan bahwa sesungguhnya dialah Nan Sorma.
Sejak peristiwa ini raja-raja Siantar menganggap tempat itu suci. Mereka menamakannya "Sombaon Nan Sorma." Setiap tahun sebelum turun ke sawah, di tempat itu diadakan persembahan tortor. Juga pada musim kemarau atau bila hujan turun terlampau banyak, ke tempat itu di bawa sesajean.
Keluarga raja-raja Siantar, Bandar, Damanik dan Bah Bolak, adalah keturunan langsung dari Siali Urung dan Partigatiga Sipunjung. Mereka memakai nama marga "Damanik Bariba." Peristiwa yang menimpa Nan Sorma menyebabkan sebagian mereka tidak berani membunuh ular sendei. Anak - anak perempuan yang baru lahir biasa mereka kirimkan kepada bibinya supaya terhindar dari bencana yang menimpa "Nan Sorma.
Sumber : Lima Legenda Sumatera Utara oleh Is. Daulay
0 Response to "Partiga Tiga Sipunjung Dan Anggaranim "
Post a Comment